Dampak Negatif Otonomi Daerah Dan Peran Dephan Dalam Pendayagunaan Sumber Daya Nasional Untuk Kepentingan Pertahanan Negara
Dampak
Negatif Otonomi Daerah Dan Peran Dephan Dalam Pendayagunaan Sumber Daya
Nasional Untuk Kepentingan Pertahanan Negara
Submitted
by datinlitbang on Wed, 06/29/2011 - 02:34
Suatu Tinjauan Analisis Makro
Tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan Undang-undang (UU
No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda)
pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan
tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU
tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang
seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat
setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan
cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahap awal UU Pemda itu
diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang
dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin
rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah
miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya,
otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi
daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan.
Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun
2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa
hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana
dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam
kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat
yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria
kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi
daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat
DAMPAK NEGATIF OTONOMI DAERAH
TERHADAP PENDAYA-GUNAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengelolaan Sumber Daya Alam di
era Otda banyak menimbulkan dampak negatif keinginan Pemda untuk menghimpun
pendapatan asli daerah (PAD), telah menguras sumber daya alam potensial yang
ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Era Otda tidak disikapi
baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga masyarakat dengan kematangan
berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing elemen masyarakat lebih
menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan mengurus sesuatu yang
menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing lebih mengedepankan
egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman terhadap Otda yang
keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan
Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan
tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang
besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya
alam yang tersedia, dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah
artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya
alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otda tidak menggunakan peran dan
fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba
mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah.
Semua itu terjadi karena Otda
lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi.
Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada
percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air, bahkan untuk
Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air karena kebutuhan
air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat Geologi dan Tata
Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah
menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap
punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang
sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Sementara pembangunan sumber daya
manusia / SDM (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya
diprioritaskan, (karena SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang
mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa
penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus
sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana harus
berkualitas
b. Keuangan sebagai biaya harus
cukup dan baik
c. Prasarana, sarana dan
peralatan harus cukup dan baik
d. Organisasi dan manajemen harus
baik
Dari semua faktor tersebut di
atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena
berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia
ini. SDM yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan
Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik
dan carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan
kelompok. Departemen Pertahanan (Dephan), selaku lembaga yang bertugas
mengelola potensi pertahanan menjadi kekuatan pertahanan berkepentingan dengan
adanya dampak negatif dari pendayagunaan sumber daya alam untuk kepentingan
pertahanan negara di seluruh daerah otonom.
Perlu disadari, bahwa kekuatan
pertahanan negara kita ini tidak terpusat, melainkan tersebar di seluruh
daerah, karena sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) kekuatan
pertahanan bertumpu pada simpul-simpul kekuatan yang telah diorganisir dan
tersebar di daerah. Dephan patut merasa terpanggil perhatiannya melihat semakin
menurunnya kondisi lingkungan sumber daya alam di daerah, mengingat
masalah-masalah yang menyangkut bidang pertahanan tidak diotonomikan kepada
daerah. Dalam hal ini Dephan memiliki sejumlah peran dan kewenangan atas
pembinaan dan pendayagunaan sumber daya alam di daerah. Untuk menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi, baik di bidang kebijakan maupun pengelolaan
SDA oleh Pemda dan masyarakat di daerah di era Otonomi Daerah ini.
Dephan telah melakukan pengkajian Efektivitas
Aparatur Dephan dalam Era Otonomi Daerah. Maksud dari pengkajian ini adalah
mencari “formula” yang tepat dalam aspek kelembagaan, SDM, tatalaksana,
pelayanan publik Dephan dalam rangka menyesuaikan dengan perubahan-perubahan
yang mendasar, baik di bidang birokrasi maupun kemasyarakatan di daerah setelah
memasuki era Otonomi Daerah . Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah
bagaimana menjembatani tuntutan masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah
(sesuai dengan karakter daerah masing-masing) dengan tantangan dan ancaman
sejalan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis yang sulit diprediksi
serta tuntutan kebutuhan strategi menghadapi ancaman. Masalah tersebut
memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan mendalam.
Khusus mengenai sumber daya nasional/SDN
(dalam tulisan ini dibatasi: SDN = sumber daya alam/SDA). Untuk kepentingan
hanneg, Dephan, memiliki kewenangan menetapkan kebijakan umum, menetapkan
kriteria atau persyaratan dan alokasi kebutuhan sumber daya, serta
mengkoordinasikannya dengan semua pihak terkait (departemen, intansi, dan
Pemda), mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pendayagunaannya. Dengan
sejumlah kewenangan tersebut di atas, Dephan memiliki tugas dan fungsi yang
tidak mudah, apalagi Dephan tidak memiliki kantor wilayah (Kanwil) sebagai
ujung tombak di daerah.
Peran Kodam yang selama ini
sebagai pengemban tugas dan fungsi (PTF) Dephan, menjadi kurang efektif karena
dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan era reformasi, dimana TNI
memfokuskan diri pada tugas pokok pertahanan sebagaimana tertuang dalam konsep
reformasi internal TNI dan meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Disamping itu
tugas pokok Kodam selaku Kotama pembinaan kekuatan kewilayahan di daerah cukup
menyita waktu, sehingga tidak memungkinkan dapat mengemban dua tugas pokok dan
fungsi (Dephan dan TNl) sekaligus dengan tuntas. Kondisi inilah yang
menginspirasi pemkiran/gagasan tentang perlunya pembentukan Kanwil Dephan di
Daerah. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam seperti air, tanah, hutan,
tambang mineral dll, baik aparat maupun warga masyarakat masing-masing berusaha
mengeksploitasi secara serampangan, tanpa mengindahkan dampak negatif yang
merugikan generasi masa depan dan kelestarian lingkungan, bahkan kepentingan
penduduk daerah tetangga sekalipun.
Sebagai contoh; daerah yang
sebelumnya sudah dihijaukan (reboisasi) melalui program penghijauan sekarang di
era otonomi banyak dijarah penduduk setempat dan lahannya digunakan sebagai
areal pertanian. Tidak peduli lahan tersebut berada di daerah lereng gunung
yang tidak layak sebagai lahan cocok tanam. Tidak peduli kalau aktivitas
penjarahan lahan seperti itu menyebabkan erosi dan banjir yang menimbulkan
bencana yang merugikan daerah tetangga. Otonomi daerah telah menimbulkan
persaingan yang tidak sehat antar daerah bertetangga dan perebutan SDA bernilai
tinggi yang ada di perbatasan wilayah daerah otonom, terutama hal ini terjadi
pada daerah perbatasan yang tidak jelas garis batasnya. Pada kenyataanya
kecuali yang menggunakan batas aliran sungai sebagian besar batas antar daerah
tidak jelas karena belum diukur dan dikukuhkan dalam peraturan
perundang-undangan.Kerusakan SDA dan lingkungan paling parah juga terjadi di
daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan sumber daya yang ada di atasnya
merupakan pilihan utama mata pencaharian penduduk.
Sementara itu, kebodohan penduduk
menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata pencahariannya pada
sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian
besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas
hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan luasnya kurang dari 15
% dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa
paling sedikit 30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang
berpengetahuan rendah, menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan
dengan krisis ekonomi dalam hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang
tidak/kurang bertanggungjawab, pertama; tidak taat hukum/peraturan, beberapa
contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk hutan reboisasi), penjarahan
areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan (BUMN, BUMD &
Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan (tidak sesuai dengan
kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan dan cara bertani
yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni kehilangan
lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air semakin
menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua; rendahnya
tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung jawab
sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak
cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda
potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak
yang meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke
kota. Di kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja
secara sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh
bangunan, pengemis, dll).
Gejala perpindahan penduduk dari
desa ke kota (urbanisasi), baik yang permanen maupun yang musiman, merupakan
penyebab utama terjadinya kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan
penduduk kota yang sulit diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu,
aktivitas pertanian dan nelayan di desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan
penurunan yang signifikan karena kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang
kontradiktif (pertumbuhan kota yang sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan
pedesaan yang stagnan serta banyaknya kerusakan lingkungan di pihak lain),
tampaknya di era otonomi daerah ini tidak dipandang sebagai suatu masalah yang
patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang sungguh-sungguh. Bilamana hal
ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah besar dan kompleks
sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau pelanggaran
terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan para
pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu
kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena
akibat perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang
yang tidak dapat diperkirakan berapa lama.
PERAN DEPHAN DALAM PENDAYAGUNAAN
DAN PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM
Dalam era otonomi daerah, Dephan
dituntut memiliki peran yang strategis pro-aktif, terutama dalam hal
pengelolaan dan penyelamatan sumber daya alam yang makin parah. Namun di sisi
lain, untuk melaksanakan peran tersebut, Dephan dihadapkan pada kesulitan yang
menyangkut kelembagaan, sumber daya manusia dll. Hingga saat ini Dephan tidak
memiliki aparat di daerah, kecuali Kodam selaku pelaksana tugas dan fungsi
(PTF) Dephan. Sejalan dengan tuntutan reformasi TNI, Kodam tidak lagi memiliki
kewenangan menangani urusan pemerintahan. Sebagai Kotama kewilayahan TNI Kodam
sangat sibuk dengan tugas pokoknya pembinaan dan operasional satuan TNI di
daerah.
Dalam hal pembinaan wilayah
(Binwil) yang sekarang dinyatakan sebagai wilayah tugas dan tanggung jawab
pemerintah/Pemda, Kodam/Kodim diposisikan sebagai “peran pembantu”. Namun
demikian dihadapkan dengan kerawanan dan ancaman disintegrasi bangsa,
keberadaan Kodam/Kodim masih sangat diperlukan di era transisi reformasi dan
demokratisasi ini. Pengelolaan Pertahanan Negara (hanneg) merupakan salah satu
fungsi pemerintahan negara yang tidak diotonomikan. Di sisi lain pengelolaan
hanneg ini merupakan tanggung jawab bersama segenap instansi pemerintahan dan
seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu, Dephan selaku lembaga pemerintah
pemegang otoritas pengelolaan hanneg menghadapi tugas yang sangat luas dan
berat.
Karena dengan demikian Dephan
harus mampu mewujudkan koordinasi dengan semua pihak (intansi/lembaga
departemen, non departemen, swasta, LSM, dll) yang terkait agar manajemen dan
kinerja masing-masing organisasi tersebut selaras dan serasi dengan kepentingan
pertahanan negara sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) dan UU No.
3 /2002 tentang Pertahanan Negara. Tugas Dephan dikatakan luas dan berat karena
menyangkut pembinaan semua aspek sumber daya nasional yang terdiri dari sumber
daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sarana
prasarana (sarpras) wilayah Negara dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
untuk jangka panjang, yakni untuk kepentingan hanneg bila saatnya diperlukan. Semua
sumber daya tersebut tersebar di seluruh wilayah daerah NKRI yang dalam keadaan
damai sehari-hari dikelola oleh intansi/lembaga departemen dan non departemen
(LPND), Pemda serta semua komponen masyarakat untuk kepentingan kesejahteraan
dan kemakmuran.
Pada saat yang lalu (di era
Orba), pemberian tugas, wewenang dan tanggung jawab Dephan kepada Kodam tidak
dipermasalahkan sehingga dapat berjalan cukup efektif, pada saat itu Kodam
(TNI) masih mengemban fungsi sosial politik (fungsi pemerintahan). Selain itu
Dephan(kam); TNI (ABRI) dan Polri berada dalam satu atap satu kepemimpinan,
Menhankam Pangab. Dengan demikian segala kebijakan umum yang menyangkut
pertahanan, TNI dan Polri sudah terintegrasi. Sekalipun demikian semua
kebijakan dan fungsi Dephan tidak dapat diimplementasikan secara optimal karena
keterbatasan Kodam dihadapkan dengan dua tugas pokok sekaligus. Di era otonomi
daerah, beban tugas Dephan dirasakan semakin berat karena masing-masing daerah
memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya sesuai dengan prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakatnya dengan fokus tujuan utama mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran (ekonomi) yang sebesar-besarnya sehingga dengan
demikian tujuan dan sasaran mengenai pertahanan kurang mendapat perhatian publik.
Fokus sorotan kajian pada SDA ini
mengingat bahwa pengelolaan SDA yang terdiri dari tanah, air, mineral tambang,
hutan dll, sudah demikian buruk dan cenderung akan semakin buruk di era Otda
sekarang ini. Padahal dampak negatif dari pengelolaan SDA yang buruk mempunyai
pengaruh ganda terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan serta masa depan
generasi bangsa. Sebagai contoh, pengelolaan hutan yang buruk, maraknya
“illegal logging” bukan saja menghancurkan hutan itu sendiri tetapi juga
komunitas makhluk lain yang ada di kawasan hutan , yakni musnahnya sebagian
dari flora dan fauna, terjadinya erosi yang dapat mengikis lapisan tanah subur
dan musnahnya mikro organisma.
Semakin rusaknya komunitas hutan
berakibat berubahnya hutan menjadi semak belukar atau padang rumput bahkan
tanah gundul. Kondisi demikian mudah menimbulkan kebakaran, kebakaran hutan
yang sering terjadi menyebabkan memburuknya kualitas tanah dan udara pada
daerah yang sangat luas. Menipisnya hutan juga dapat menyebabkan. rendahnya
kemampuan hutan dalam menyimpan air hujan, semakin “dalamnya” permukaan air
tanah dan air sungai menjadi cepat surut begitu memasuki musim kemarau. Gejala
demikian akan semakin memburuk sejalan dengan bertambahnya penduduk.
Pengelolaan lahan pertanian yang
buruk di daerah terlarang, seperti lereng gunung, hutan tutupan dan daerah mata
air mengakibatkan erosi yang terus menerus sehingga menimbulkan banjir
berulang-ulang, kemudian sebagai dampak lanjutan akan terjadi degradasi
lingkungan fisik, terutama sepanjang daerah aliran sungai (DAS), menimbulkan
endapan, pendangkalan dan kerusakan di daerah hilir sungai, danau serta areal
pertanian di dataran rendah. Pengelolaan buruk sumberdaya hutan, tanah dan air
ini tengah terjadi secara masif di hampir seluruh daerah Indonesia, dan di era
Otda ini semakin meningkat. Dalam eksploitasi sumber daya mineral tambang juga
terjadi hal yang sama. Di mana-mana dijumpai pertambangan emas tanpa izin
(Peti) pertambangan batu bara, pasir besi, timah, dll.
Pertambangan yang dilakukan oleh
perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD) juga tidak dikelola dengan baik. Bekas
ekspolitasi tambang timah, bauksit dan batu bara dibiarkan tanpa upaya
reklamasi yang memadai. Banyak zat kimia beracun yang digunakan dalam proses pengolahan
biji tambang dibuang begitu saja tanpa melalui pengolahan limbah yang memadai.
Dampak pengelolaan pertambangan yang buruk ini sangat merugikan lingkungan dan
membahayakan keselamatan penduduk dalam jangka panjang. Dalam menanggulangi
dampak tersebut di atas Dephan dituntut kepeduliannya dan berperan aktif guna
mengatasi, setidak-tidaknya mengurangi perilaku buruk para pihak yang telibat
dalam pengelolaan SDA, melalui penerbitan kebijakan, dan peraturan
perundang-undangan, bekerja sama dengan semua lembaga/intansi, Pemda, dan pihak
lain yang terkait.
Peran Dephan yang diharapkan.
Dephan diharapkan dapat meng-implementasikan fungsi yang diembannya secara
aktif dengan menjalin koordinasi terus menerus dengan semua pihak terkait.
Adapun fungsi yang dimaksud adalah: “membina dan mendayagunakan SDA untuk
kepentingan hanneg”.
Dalam mengimplementasikan fungsi
tersebut di atas diperlukan suatu konsep pengelolaan yang jelas, baik dalam
hubungan koordinasi penyiapan peraturan/perundangan maupun dalam hal pelaksanaan
aksi di lapangan. Pembinaan dan pendaya-gunaan SDA berpangkal pada tiga prinsip
pengelolaan SDA yakni: keserasian, keseimbangan (propor-sionalitas) dan
keberlanjutan (sustainable).
Tiga prinsip itulah yang
melandasi kebijakan pembinaan dan pendaya-gunaan SDA. Suatu konsepsi pembinaan
dan pendaya-gunaan SDA yang disarankan adalah sebagai berikut:
a. Strategi:
1). Pendayagunaan
SDA diarahkan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang diselaraskan
dengan kepentingan pertahanan dan keamanan Negara berdasarkan Doktrin dan
Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata)
2). Kebijakan dan
Rencana Umum yang terpusat dan pelaksanaan yang terdesentralisasi oleh lembaga
pemerintah, Pemda dan pihak terkait lainnya.
3). Pembinaan SDA
menyangkut dua sasaran pokok, yaitu pengamanan
dan pengembangan SDA.
dan pengembangan SDA.
b. Sasaran.
Sasaran yang ingin dicapai dari pembinaan dan pendayagunaan SDA adalah:
Sasaran yang ingin dicapai dari pembinaan dan pendayagunaan SDA adalah:
1). Tersedianya
cadangan material strategis dan sistem logistik wilayah (Sislogwil) di setiap
daerah yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kepentingan hanneg
2).
Terpeliharanya kelestarian dan keseimbangan lingkungan melalui usaha
konservasi, rehabilitasi, diversifikasi dan penggunaan teknologi ramah
lingkungan.
3). Terwujudnya
daya dukung SDA jangka panjang sebagai sumber utama logistik wilayah untuk
kepentingan Hanneg.
c. Upaya.
1). Menjalin
koordinasi yang intensif dengan semua pihak terkait guna terwujudnya
sinkronisasi, keserasian dan keseimbangan dalam pengelolaan Sumber daya Alam
untuk kepentingan kesejahteraan (jangka pendek) dengan kepentingan pertahanan
Negara (jangka panjang)
2). Merumuskan
kebijakan umum pembinaan dan peraturan perundang-undangan serta merevisi
kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan SDA yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan kebutuhan.
3). Menetapkan
kriteria konservasi dan atau diversifikasi sumber SDA sesuai dengan proyeksi
tuntutan kebutuhan ke depan.
4). Menetapkan
alokasi cadangan material strategis dari setiap daerah dalam rangka mewujudkan
sistem logistik wilayah (sislogwil).
5). Menyelenggarakan
invetarisasi data SDA, khususnya material strategis dari setiap daerah dalam
sistem informasi geografi petahanan negara (SIG/hanneg)
6).
Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang
pembinaan dan pendayagunaan SDA secara terprogram.
7). Memantau,
mengawasi dan mengendalikan semua kegiatan implementasi kebijakan dan peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan SDA dalam rangka Hanneg. Dari pihak
lembaga departemen pemerintahan, LPND, LSM dan pihak terkait yang diharapkan
hal-hal sebagai berikut:
Departemen,
Pemda dan LPND
1). Menerapkan
kebijakan yang ketat terhadap pengelolaan kawasan konservasi SDA seperti: hutan
lindung, hulu sungai, sumber mata air, DAS dan hutan pantai tirai gelombang.
2). Konsisten
menerapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta memberikan sanksi
hukum yang berat kepada perusak lingkungan.
3). Membuka akses
kepada masyarakat tentang informasi kebijakan pendayagunaan SDA.
4).Membuka ruang
partisipasi masyarakat dalam memperoleh dan menyalurkan informasi, serta
mencari solusi kerusakan SDA sebagai akibat pengelolaan yang salah/ilegal
5).Menyelenggarakan pengawasan dan
pengendalian pengelolaan SDA yang intensif dan ekstensif.
LSM dan
Tokoh/Anggota Masyarakat
1). Memberikan
masukan kepada pemerintah tentang pendaya-gunaan dan penyelamatan SDA yang
benar.
2). Memberikan
informasi secara dini tentang kejadian/peristiwa bencana alam, kerusakan
lingkungan dan pelaku kejahatan lingkungan/SDA
3). Memberikan
kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang
merugikan lingkungan dan SDA
Kesimpulan
a. Pemberlakuan Otonomi Daerah
membawa dampak buruk terhadap pengelolaan SDA di semua daerah. Penduduk dan
atau warga masyarakat mengeksploitasi SDA dengan semena-mena tanpa dilandasi
pertimbangan kearifan dan kemaslahatan demi kepentingan jangka panjang dan
keseimbangan lingkungan.
b. Pendayagunaan SDA yang
semena-mena memberikan dampak negatif ganda (multiple impact) terhadap semua
aspek kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat yang pada gilirannya
merugikan generasi yang akan datang.
c. Dephan selaku pemegang
otoritas pembinaan dan pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan
pertahanan negara, di era Otda ini dituntut untuk meningkatkan kinerja
pelaksanaan fungsinya. Khususnya dalam menyikapi degradasi lingkungan sebagai
akibat pengelolaan SDA yang kurang bertanggung jawab, Dephan dituntut berperan
sebagai misiator, pelopor & koordinator upaya penyelamatan dan rehabilitasi
seyogyanya tampil paling depan untuk memotivasi dan mengajak semua pihak
terkait guna membangun kerja sama yang sinergis, sistemik dan konsepsional,
untuk mengamankan, memelihara dan mengembangkan serta mendayagunakan SDA dalam
rangka kesejahteraan masyarakat dan pertahanan Negara.
Demikian tulisan ini disajikan
sebagai sumbangan pemikiran semoga ada manfaatnya.
Oleh: Kolonel
Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind Balitbang Dephan
Komentar