Dampak Negatif Otonomi Daerah Dan Peran Dephan Dalam Pendayagunaan Sumber Daya Nasional Untuk Kepentingan Pertahanan Negara


Dampak Negatif Otonomi Daerah Dan Peran Dephan Dalam Pendayagunaan Sumber Daya Nasional Untuk Kepentingan Pertahanan Negara
Suatu Tinjauan Analisis Makro Tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap.
Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat
DAMPAK NEGATIF OTONOMI DAERAH TERHADAP PENDAYA-GUNAAN SUMBER DAYA ALAM
Pengelolaan Sumber Daya Alam di era Otda banyak menimbulkan dampak negatif keinginan Pemda untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), telah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Era Otda tidak disikapi baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga masyarakat dengan kematangan berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing elemen masyarakat lebih menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan mengurus sesuatu yang menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing lebih mengedepankan egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman terhadap Otda yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
 Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia, dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otda tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah.
Semua itu terjadi karena Otda lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air, bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air karena kebutuhan air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Sementara pembangunan sumber daya manusia / SDM (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana harus berkualitas
b. Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik
d. Organisasi dan manajemen harus baik
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok. Departemen Pertahanan (Dephan), selaku lembaga yang bertugas mengelola potensi pertahanan menjadi kekuatan pertahanan berkepentingan dengan adanya dampak negatif dari pendayagunaan sumber daya alam untuk kepentingan pertahanan negara di seluruh daerah otonom.
Perlu disadari, bahwa kekuatan pertahanan negara kita ini tidak terpusat, melainkan tersebar di seluruh daerah, karena sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) kekuatan pertahanan bertumpu pada simpul-simpul kekuatan yang telah diorganisir dan tersebar di daerah. Dephan patut merasa terpanggil perhatiannya melihat semakin menurunnya kondisi lingkungan sumber daya alam di daerah, mengingat masalah-masalah yang menyangkut bidang pertahanan tidak diotonomikan kepada daerah. Dalam hal ini Dephan memiliki sejumlah peran dan kewenangan atas pembinaan dan pendayagunaan sumber daya alam di daerah. Untuk menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi, baik di bidang kebijakan maupun pengelolaan SDA oleh Pemda dan masyarakat di daerah di era Otonomi Daerah ini.
 Dephan telah melakukan pengkajian Efektivitas Aparatur Dephan dalam Era Otonomi Daerah. Maksud dari pengkajian ini adalah mencari “formula” yang tepat dalam aspek kelembagaan, SDM, tatalaksana, pelayanan publik Dephan dalam rangka menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang mendasar, baik di bidang birokrasi maupun kemasyarakatan di daerah setelah memasuki era Otonomi Daerah . Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjembatani tuntutan masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah (sesuai dengan karakter daerah masing-masing) dengan tantangan dan ancaman sejalan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis yang sulit diprediksi serta tuntutan kebutuhan strategi menghadapi ancaman. Masalah tersebut memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan mendalam.
Khusus mengenai sumber daya nasional/SDN (dalam tulisan ini dibatasi: SDN = sumber daya alam/SDA). Untuk kepentingan hanneg, Dephan, memiliki kewenangan menetapkan kebijakan umum, menetapkan kriteria atau persyaratan dan alokasi kebutuhan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dengan semua pihak terkait (departemen, intansi, dan Pemda), mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pendayagunaannya. Dengan sejumlah kewenangan tersebut di atas, Dephan memiliki tugas dan fungsi yang tidak mudah, apalagi Dephan tidak memiliki kantor wilayah (Kanwil) sebagai ujung tombak di daerah.
Peran Kodam yang selama ini sebagai pengemban tugas dan fungsi (PTF) Dephan, menjadi kurang efektif karena dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan era reformasi, dimana TNI memfokuskan diri pada tugas pokok pertahanan sebagaimana tertuang dalam konsep reformasi internal TNI dan meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Disamping itu tugas pokok Kodam selaku Kotama pembinaan kekuatan kewilayahan di daerah cukup menyita waktu, sehingga tidak memungkinkan dapat mengemban dua tugas pokok dan fungsi (Dephan dan TNl) sekaligus dengan tuntas. Kondisi inilah yang menginspirasi pemkiran/gagasan tentang perlunya pembentukan Kanwil Dephan di Daerah. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam seperti air, tanah, hutan, tambang mineral dll, baik aparat maupun warga masyarakat masing-masing berusaha mengeksploitasi secara serampangan, tanpa mengindahkan dampak negatif yang merugikan generasi masa depan dan kelestarian lingkungan, bahkan kepentingan penduduk daerah tetangga sekalipun.
Sebagai contoh; daerah yang sebelumnya sudah dihijaukan (reboisasi) melalui program penghijauan sekarang di era otonomi banyak dijarah penduduk setempat dan lahannya digunakan sebagai areal pertanian. Tidak peduli lahan tersebut berada di daerah lereng gunung yang tidak layak sebagai lahan cocok tanam. Tidak peduli kalau aktivitas penjarahan lahan seperti itu menyebabkan erosi dan banjir yang menimbulkan bencana yang merugikan daerah tetangga. Otonomi daerah telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar daerah bertetangga dan perebutan SDA bernilai tinggi yang ada di perbatasan wilayah daerah otonom, terutama hal ini terjadi pada daerah perbatasan yang tidak jelas garis batasnya. Pada kenyataanya kecuali yang menggunakan batas aliran sungai sebagian besar batas antar daerah tidak jelas karena belum diukur dan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan.Kerusakan SDA dan lingkungan paling parah juga terjadi di daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan sumber daya yang ada di atasnya merupakan pilihan utama mata pencaharian penduduk.
Sementara itu, kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan luasnya kurang dari 15 % dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa paling sedikit 30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang berpengetahuan rendah, menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan krisis ekonomi dalam hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang tidak/kurang bertanggungjawab, pertama; tidak taat hukum/peraturan, beberapa contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk hutan reboisasi), penjarahan areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan (BUMN, BUMD & Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan (tidak sesuai dengan kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan dan cara bertani yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni kehilangan lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air semakin menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua; rendahnya tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung jawab sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak yang meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke kota. Di kota mereka lebih banyak menjadi “beban” karena sebagian hanya bekerja secara sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh bangunan, pengemis, dll).
Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), baik yang permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama terjadinya kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota yang sulit diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas pertanian dan nelayan di desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan yang signifikan karena kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang kontradiktif (pertumbuhan kota yang sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan pedesaan yang stagnan serta banyaknya kerusakan lingkungan di pihak lain), tampaknya di era otonomi daerah ini tidak dipandang sebagai suatu masalah yang patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang sungguh-sungguh. Bilamana hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah besar dan kompleks sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau pelanggaran terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan para pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan “teroris laten” karena akibat perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang yang tidak dapat diperkirakan berapa lama.
PERAN DEPHAN DALAM PENDAYAGUNAAN DAN PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM
Dalam era otonomi daerah, Dephan dituntut memiliki peran yang strategis pro-aktif, terutama dalam hal pengelolaan dan penyelamatan sumber daya alam yang makin parah. Namun di sisi lain, untuk melaksanakan peran tersebut, Dephan dihadapkan pada kesulitan yang menyangkut kelembagaan, sumber daya manusia dll. Hingga saat ini Dephan tidak memiliki aparat di daerah, kecuali Kodam selaku pelaksana tugas dan fungsi (PTF) Dephan. Sejalan dengan tuntutan reformasi TNI, Kodam tidak lagi memiliki kewenangan menangani urusan pemerintahan. Sebagai Kotama kewilayahan TNI Kodam sangat sibuk dengan tugas pokoknya pembinaan dan operasional satuan TNI di daerah.
Dalam hal pembinaan wilayah (Binwil) yang sekarang dinyatakan sebagai wilayah tugas dan tanggung jawab pemerintah/Pemda, Kodam/Kodim diposisikan sebagai “peran pembantu”. Namun demikian dihadapkan dengan kerawanan dan ancaman disintegrasi bangsa, keberadaan Kodam/Kodim masih sangat diperlukan di era transisi reformasi dan demokratisasi ini. Pengelolaan Pertahanan Negara (hanneg) merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang tidak diotonomikan. Di sisi lain pengelolaan hanneg ini merupakan tanggung jawab bersama segenap instansi pemerintahan dan seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu, Dephan selaku lembaga pemerintah pemegang otoritas pengelolaan hanneg menghadapi tugas yang sangat luas dan berat. 
Karena dengan demikian Dephan harus mampu mewujudkan koordinasi dengan semua pihak (intansi/lembaga departemen, non departemen, swasta, LSM, dll) yang terkait agar manajemen dan kinerja masing-masing organisasi tersebut selaras dan serasi dengan kepentingan pertahanan negara sesuai Doktrin Pertahanan Rakyat Semesta (Hanrata) dan UU No. 3 /2002 tentang Pertahanan Negara. Tugas Dephan dikatakan luas dan berat karena menyangkut pembinaan semua aspek sumber daya nasional yang terdiri dari sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sarana prasarana (sarpras) wilayah Negara dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk jangka panjang, yakni untuk kepentingan hanneg bila saatnya diperlukan. Semua sumber daya tersebut tersebar di seluruh wilayah daerah NKRI yang dalam keadaan damai sehari-hari dikelola oleh intansi/lembaga departemen dan non departemen (LPND), Pemda serta semua komponen masyarakat untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran. 
Pada saat yang lalu (di era Orba), pemberian tugas, wewenang dan tanggung jawab Dephan kepada Kodam tidak dipermasalahkan sehingga dapat berjalan cukup efektif, pada saat itu Kodam (TNI) masih mengemban fungsi sosial politik (fungsi pemerintahan). Selain itu Dephan(kam); TNI (ABRI) dan Polri berada dalam satu atap satu kepemimpinan, Menhankam Pangab. Dengan demikian segala kebijakan umum yang menyangkut pertahanan, TNI dan Polri sudah terintegrasi. Sekalipun demikian semua kebijakan dan fungsi Dephan tidak dapat diimplementasikan secara optimal karena keterbatasan Kodam dihadapkan dengan dua tugas pokok sekaligus. Di era otonomi daerah, beban tugas Dephan dirasakan semakin berat karena masing-masing daerah memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatnya dengan fokus tujuan utama mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran (ekonomi) yang sebesar-besarnya sehingga dengan demikian tujuan dan sasaran mengenai pertahanan kurang mendapat perhatian publik. 
Fokus sorotan kajian pada SDA ini mengingat bahwa pengelolaan SDA yang terdiri dari tanah, air, mineral tambang, hutan dll, sudah demikian buruk dan cenderung akan semakin buruk di era Otda sekarang ini. Padahal dampak negatif dari pengelolaan SDA yang buruk mempunyai pengaruh ganda terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan serta masa depan generasi bangsa. Sebagai contoh, pengelolaan hutan yang buruk, maraknya “illegal logging” bukan saja menghancurkan hutan itu sendiri tetapi juga komunitas makhluk lain yang ada di kawasan hutan , yakni musnahnya sebagian dari flora dan fauna, terjadinya erosi yang dapat mengikis lapisan tanah subur dan musnahnya mikro organisma.
Semakin rusaknya komunitas hutan berakibat berubahnya hutan menjadi semak belukar atau padang rumput bahkan tanah gundul. Kondisi demikian mudah menimbulkan kebakaran, kebakaran hutan yang sering terjadi menyebabkan memburuknya kualitas tanah dan udara pada daerah yang sangat luas. Menipisnya hutan juga dapat menyebabkan. rendahnya kemampuan hutan dalam menyimpan air hujan, semakin “dalamnya” permukaan air tanah dan air sungai menjadi cepat surut begitu memasuki musim kemarau. Gejala demikian akan semakin memburuk sejalan dengan bertambahnya penduduk. 
Pengelolaan lahan pertanian yang buruk di daerah terlarang, seperti lereng gunung, hutan tutupan dan daerah mata air mengakibatkan erosi yang terus menerus sehingga menimbulkan banjir berulang-ulang, kemudian sebagai dampak lanjutan akan terjadi degradasi lingkungan fisik, terutama sepanjang daerah aliran sungai (DAS), menimbulkan endapan, pendangkalan dan kerusakan di daerah hilir sungai, danau serta areal pertanian di dataran rendah. Pengelolaan buruk sumberdaya hutan, tanah dan air ini tengah terjadi secara masif di hampir seluruh daerah Indonesia, dan di era Otda ini semakin meningkat. Dalam eksploitasi sumber daya mineral tambang juga terjadi hal yang sama. Di mana-mana dijumpai pertambangan emas tanpa izin (Peti) pertambangan batu bara, pasir besi, timah, dll. 
Pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD) juga tidak dikelola dengan baik. Bekas ekspolitasi tambang timah, bauksit dan batu bara dibiarkan tanpa upaya reklamasi yang memadai. Banyak zat kimia beracun yang digunakan dalam proses pengolahan biji tambang dibuang begitu saja tanpa melalui pengolahan limbah yang memadai. Dampak pengelolaan pertambangan yang buruk ini sangat merugikan lingkungan dan membahayakan keselamatan penduduk dalam jangka panjang. Dalam menanggulangi dampak tersebut di atas Dephan dituntut kepeduliannya dan berperan aktif guna mengatasi, setidak-tidaknya mengurangi perilaku buruk para pihak yang telibat dalam pengelolaan SDA, melalui penerbitan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan, bekerja sama dengan semua lembaga/intansi, Pemda, dan pihak lain yang terkait.
Peran Dephan yang diharapkan. Dephan diharapkan dapat meng-implementasikan fungsi yang diembannya secara aktif dengan menjalin koordinasi terus menerus dengan semua pihak terkait. Adapun fungsi yang dimaksud adalah: “membina dan mendayagunakan SDA untuk kepentingan hanneg”. 
Dalam mengimplementasikan fungsi tersebut di atas diperlukan suatu konsep pengelolaan yang jelas, baik dalam hubungan koordinasi penyiapan peraturan/perundangan maupun dalam hal pelaksanaan aksi di lapangan. Pembinaan dan pendaya-gunaan SDA berpangkal pada tiga prinsip pengelolaan SDA yakni: keserasian, keseimbangan (propor-sionalitas) dan keberlanjutan (sustainable). 
Tiga prinsip itulah yang melandasi kebijakan pembinaan dan pendaya-gunaan SDA. Suatu konsepsi pembinaan dan pendaya-gunaan SDA yang disarankan adalah sebagai berikut:
a. Strategi:
1). Pendayagunaan SDA diarahkan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat yang diselaraskan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan Negara berdasarkan Doktrin dan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata)
2). Kebijakan dan Rencana Umum yang terpusat dan pelaksanaan yang terdesentralisasi oleh lembaga pemerintah, Pemda dan pihak terkait lainnya.
3). Pembinaan SDA menyangkut dua sasaran pokok, yaitu pengamanan
dan pengembangan SDA.
b. Sasaran.
Sasaran yang ingin dicapai dari pembinaan dan pendayagunaan SDA adalah:
1). Tersedianya cadangan material strategis dan sistem logistik wilayah (Sislogwil) di setiap daerah yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kepentingan hanneg
2). Terpeliharanya kelestarian dan keseimbangan lingkungan melalui usaha konservasi, rehabilitasi, diversifikasi dan penggunaan teknologi ramah lingkungan.
3). Terwujudnya daya dukung SDA jangka panjang sebagai sumber utama logistik wilayah untuk kepentingan Hanneg.

c. Upaya.
1). Menjalin koordinasi yang intensif dengan semua pihak terkait guna terwujudnya sinkronisasi, keserasian dan keseimbangan dalam pengelolaan Sumber daya Alam untuk kepentingan kesejahteraan (jangka pendek) dengan kepentingan pertahanan Negara (jangka panjang)

2). Merumuskan kebijakan umum pembinaan dan peraturan perundang-undangan serta merevisi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan SDA yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan.
3). Menetapkan kriteria konservasi dan atau diversifikasi sumber SDA sesuai dengan proyeksi tuntutan kebutuhan ke depan.
4). Menetapkan alokasi cadangan material strategis dari setiap daerah dalam rangka mewujudkan sistem logistik wilayah (sislogwil).
5). Menyelenggarakan invetarisasi data SDA, khususnya material strategis dari setiap daerah dalam sistem informasi geografi petahanan negara (SIG/hanneg)
6). Menyelenggarakan sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pendayagunaan SDA secara terprogram.
7). Memantau, mengawasi dan mengendalikan semua kegiatan implementasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan SDA dalam rangka Hanneg. Dari pihak lembaga departemen pemerintahan, LPND, LSM dan pihak terkait yang diharapkan hal-hal sebagai berikut:
Departemen, Pemda dan LPND
1). Menerapkan kebijakan yang ketat terhadap pengelolaan kawasan konservasi SDA seperti: hutan lindung, hulu sungai, sumber mata air, DAS dan hutan pantai tirai gelombang.
2). Konsisten menerapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta memberikan sanksi hukum yang berat kepada perusak lingkungan.
3). Membuka akses kepada masyarakat tentang informasi kebijakan pendayagunaan SDA.
4).Membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memperoleh dan menyalurkan informasi, serta mencari solusi kerusakan SDA sebagai akibat pengelolaan yang salah/ilegal
5).Menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian pengelolaan SDA yang intensif dan ekstensif.
LSM dan Tokoh/Anggota Masyarakat
1). Memberikan masukan kepada pemerintah tentang pendaya-gunaan dan penyelamatan SDA yang benar.
2). Memberikan informasi secara dini tentang kejadian/peristiwa bencana alam, kerusakan lingkungan dan pelaku kejahatan lingkungan/SDA
3). Memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan lingkungan dan SDA

Kesimpulan
a. Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa dampak buruk terhadap pengelolaan SDA di semua daerah. Penduduk dan atau warga masyarakat mengeksploitasi SDA dengan semena-mena tanpa dilandasi pertimbangan kearifan dan kemaslahatan demi kepentingan jangka panjang dan keseimbangan lingkungan.
b. Pendayagunaan SDA yang semena-mena memberikan dampak negatif ganda (multiple impact) terhadap semua aspek kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat yang pada gilirannya merugikan generasi yang akan datang.
c. Dephan selaku pemegang otoritas pembinaan dan pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, di era Otda ini dituntut untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan fungsinya. Khususnya dalam menyikapi degradasi lingkungan sebagai akibat pengelolaan SDA yang kurang bertanggung jawab, Dephan dituntut berperan sebagai misiator, pelopor & koordinator upaya penyelamatan dan rehabilitasi seyogyanya tampil paling depan untuk memotivasi dan mengajak semua pihak terkait guna membangun kerja sama yang sinergis, sistemik dan konsepsional, untuk mengamankan, memelihara dan mengembangkan serta mendayagunakan SDA dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pertahanan Negara.
Demikian tulisan ini disajikan sebagai sumbangan pemikiran semoga ada manfaatnya.
Oleh: Kolonel Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind Balitbang Dephan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mentransformasi data ke dalam bentuk Log dan Ln dengan Eviews7

Transformasi data Ke Dalam Bentuk Log dan Ln dengan SPSS 20

Cara Mendeteksi Outlier Data Menggunakan SPSS