AIR MATAKU LURUH DI SCHIPHOL..!
Assalamualaikum wr wb...
Copas dari web www.patriotgaruda.com...
Agustus 1992, langit Amsterdam cerah ketika kami menjamu para undangan menikmati hidangan kuliner Indonesia, hasil racikan keluarga kami.Tetamu yang datang pun bukan sekedar dari Amsterdam, Roterdam atau kota-kota lain di Holland, malahan konon ada yang datang dari Belgium, Luxemburg, French, Germany, Austria, Italy, Spain, dan lain-lain.
Hehehe..! Kedengarannya sangat wah, dan datang dari tempat yang jauh-jauh. Namun tidak demikian sebenarnya. Nama-nama negara Eropa tersebut, ternyata saling berdekatan dan memiliki konektivitas transportasi yang sangat baik, sehingga hampir tidak ada masalah sama sekali tentang suatu jarak..! Bayangkan dengan Indonesia di saat itu..! Kita hanya punya beberapa maskapai penerbangan dengan kepemilikan pesawat dalam jumlah yang sangat kecil. Di laut, kita hanya punya beberapa unit angkutan kapal milik PT Pelni. Jalan tol juga baru ada di Jakarta dan beberapa kota di pulau Jawa, selebihnya kita sering menikmati segala kekurangan..!
Itulah tema pertemuan kami di Amsterdam pada hari itu. Meski sejatinya pertemuan ini diselenggarakan sebagai pengenalan keluarga kepada rekan-rekan, kerabat dan sahabat yang kebetulan berdomisili di Eropa, namun nyatanya kami secara spontan memilih pertemuan ini sebagai media tukar pikiran dan memupuk kembali rasa nasionalisme yang ada. Ayahanda menjelma menjadi keynote speaker yang handal dalam moment itu. Bagaimana tidak, meskipun kepindahan keluarga kami ke Belanda karena terpaksa dan bukan karena faktor cinta serta cita-cita, namun nyatanya beliau selalu mendengungkan semangat keindonesiaan yang berkobar..!
Ya, sangat berkobar…! Di matanya, aku melihat jilatan api, seperti api yang pernah menjilat, membakar dan memusnahkan rumah keluarga kami di Indonesia.
Semangatnya begitu menderu, laksana rentetan peluru yang menerjang pintu dan dinding-dinding rumah itu. Tangannya kembali terlihat mengepal, sama persis dengan ketika kami mengetahui bahwa ayahanda dan bunda, tidak akan pernah lagi bisa bekerja di Indonesia, tapi keduanya tidak pernah menitikkan air mata. Namun disini, di sudut mata ini, kelima putranya terhanyut dalam bah kepedihan, ditenggelamkan samudera lara yang dalam tiada tara, dan tergantung tanpa temali di atas bara api..! Luka dan duka itu, menjelma menjadi dendam dalam hati ini. Adakah aku pantas memikul balas yang kubawa, akankah dendam ini mampu menyelesaikan segalanya, pada siapa amarah ini kan kutumpahkannya, masihkah keadilan itu setia di singgasananya, atau punah, lunglai, layu dan tak berdaya..?
Berjuta pertanyaannya tiba-tiba memborbardir pikiranku, yang anehnya, di saat yang sama, setiap ucapan ayahanda seolah berusaha menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang mengalun di hati. Meski dalam duka, ayahanda selalu menekankan arti penting semangat, kemampuan dan ketangguhan. Ayahanda tidak ingin membiarkan kami terpuruk sebagai pecundang, karena kami dan kita sama-sama terlahir dari rahim ibu pertiwi yang mewarisi terah bangsa pemenang. Jangan pernah menyerah, kita bukan bangsa sampah yang cuma doyan menyepah..! Kita bangsa pejuang yang mampu bangkit menjadi pemenang yang abadi, jaya, gemah dan ripah..! Aku terkejut, ketika seseorang menepuk bahuku. Seorang relasi ayahanda yang juga senior beliau, seakan bisa membaca isi kepalaku. Dengan lembut dia menyapu air mataku. “Ini bukan akhir dari segalanya, ini adalah langkah awal, ini yang disebut sebuah permulaan. Inilah peluang, dan inilah kesempatan untuk kalian menjadi seorang pemenang..!”
Kata-kata penyemangat itu nyata telah mampu menarikku dari keterpurukan, dan mengembalikan aku akan kecintaan terhadap bangsa dan negeriku, Indonesia..! Sejak saat itu pula, aku beserta abangku, bertekad untuk pulang dan melanjutkan perjuangan keluarga yang tertunda. Kami yakin, kelak kami akan mampu mengecap dan menikmati sebuah kemenangan dan mempersembahkan bingkisan keadilan..! November 1992, ku kemas segala kenangan di dalam hati, membiarkannya menari dan menyanyi penuh ekspresi. Aku tak ingin bersedih dan kecewa lagi. Aku mencatat segalanya dalam helaian jiwa, terangkum rapi dalam kisi-kisi hati, menjadikannya sebagai sebuah album, yang tidak sekedar sebuah kenangan, tapi juga kemenangan. Kelak aku akan memutar segalanya kembali, sebagai sebuah ensiklopedi..!
Tepat di hari terakhirku, Schiphol menjadi saksi bisu pertemuan kami. Sang relasi ayahanda nan bijak itu, dengan penuh kelembutan dan keramahan, kembali menyulut semangatku dan mengingatkan segala kebesaran negeri yang kita miliki. Kita adalah kunci kemajuan dan kemakmuran bangsa, jangan pernah bercerai-berai dan saling benci. Kita harus mampu menjadi manusia Indonesia yang bersemangat, berkemampuan dan tangguh. Kita boleh berkompetisi, namun harus mengedepankan sikap kooperasi
Lihat bandara ini, kelak kita harus mampu memindahkannya.
Lihat pabrik pesawat Fokker itu, nanti kita harus bisa mengalahkannya.
Kita berkemampuan, dan kita berpeluang menjadi bangsa pemenang. Pada yang muda, ku titipkan asa dan cinta ini untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik, sejahtera dan penuh pesona.
Jangan pernah kendurkan doa dan semangatmu, niscaya Tuhan kabulkan cita-citamu..! Berkaryalah..!
#thanks_eyangprofsubroto.com
Komentar