Kata Aman Masih Elitis
BERDASARKAN data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2012 jumlah pengangguran di Aceh mencapai 9,10%, namun pada 2013 justru naik, menjadi 10,30%. Begitu juga dengan tingkat kemiskinan. Pada 2012, tingkat kemiskinan mencapai 19,46%, tetapi pada 2013 hanya turun sekira 2%, menjadi 17,72%. Memang pada Februari 2014 jumlah pengangguran mencapai 147 ribu orang, lebih kecil 30.000 orang dibandingkan keadaan Februari 2013 yang mencapai 177 ribu orang. Namun, penurunannya tetap belum sebanding dengan banyaknya uang yang dibelanjakan.
Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Rustam Effendi M.Econ mengatakan, setidaknya ada dua fungsi APBA, yakni fungsi alokasi dan fungsi distribusi. “Anggaran pembangunan harus didistribusikan secara adil, sehingga semua pihak mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama,” kata ekonom senior ini.
Rustam menyebut beberapa strategi untuk menciptakan lapangan kerja, antara lain mendirikan industri pengolahan. Sayangnya, Pemerintah Aceh belum tertarik dengan sektor ini. “Kalau kita lihat data BPS, industri pengolahan tumbuh -5,47% di Semester I tahun ini. Padahal, industri ini sangat potensial menyerap tenaga kerja,” kata alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia ini.
Rustam yang pernah 12 tahun menjadi staf ahli di Bappeda Aceh ini menyebutkan, sektor yang juga harus mendapatkan perhatian pemerintah Aceh adalah pertanian. Soalnya, kata Rustam yang mengutip data BPS, 47 persen warga Aceh bekerja di sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian untuk GDP pun mencapai 30 persen.
Masalahnya, kata Rustam, pemerintah Aceh tidak menjadikan data-data BPS semacam ini sebagai tolok ukur dalam membuat kebijakan. “Selama ini banyak anggaran yang dialokasikan, tidak menjawab persoalan riil masyarakat. Karena proyek-proyek itu dibuat berdasarkan proposal yang masuk, bukan berdasarkan kebutuhan di lapangan,” katanya.
Yang tumbuh sekarang justru lapangan kerja non-basis, seperti bangunan. Akan tetapi, untuk sektor ini pun lebih banyak menyerap tenaga kerja dari luar Aceh. “Mulai atap, keramik, hingga besi untuk pondasi di dalam tanah berasal dari Medan. Yang kita punya cuma kerikil, pasir, batu-bata. Yang lain semua dari luar Aceh, bahkan sebagian tenaga kerjanya, sehingga yang sudah masuk pun mengalir ke luar lagi,” katanya.
Kalau kita melihat data perusahaan-perusahaan yang menambah investasinya pada semster pertama tahun 2014, kebanyakan juga bergerak di sektor pertambangan dan energi. Investasi di sektor tambang memang akan meningkatkan GDP, tapi takkan signifikan mengurangi pengangguran. Soalnya, pekerja di sektor ini orang-orang terlatih, yang punya keterampilan khusus. Paling-paling menambah pendapatan daerah lewat mekanisme pajak. Bahkan berdasarkan data yang dimiliki BKPMD/Bainprom Aceh, tambahan investasi yang katanya sekira Rp 1,5 triliun di Semester I 2014, ternyata cuma menyerap ratusan tenaga kerja baru.
Lalu, bagaimana dengan upaya pemerintah Aceh yang berusaha menarik investor selama ini? “Silakan saja berpromosi, namun tidak cukup dengan hal ini, persoalan riil di lapangan harus dipecahkan,” kata dia.
Persoalan riil di lapangan, menurut Rustam Effendi, adalah banyaknya pengangguran. Sepanjang pemuda-pemuda tanggung di desa-desa belum dapat pekerjaan, sepanjang itulah Aceh belum menjadi negeri yang nyaman berinvestasi.
“Sekarang saya mau tanya, kalau Anda punya uang Rp 500 juta misalnya, mau nggak mendirikan pabrik pengolahan kopi, pabrik pengolahan padi, atau pabrik lain, di desa A misalnya. Pasti Anda akan mikir-mikir, kan? Anda pasti khawatir akan diperas, diminta sumbangan ini-itu. Itulah problema di lapangan,” kata dia.
Perusahaan skala besar pun, yang mungkin mampu menyediakan centeng untuk pengamanan, masih akan berpikir puluhan kali. “Kata aman masih pada tataran elite, sedangkan persepsi orang luar tidak demikian. Persoalan riil belum dipecahkan,” kata dia.
Rustam berharap Pemerintah Aceh tak perlu berpikir muluk-muluk, misal membangun jalan tol, atau mendatangkan investor hebat misalnya dari perusahaan Samsung, atau dari Qatar dengan investasi triliunan rupiah. Dia berharap, uang yang ada dulu digunakan secara benar dan tepat, baik alokasi maupun distribusi.(*)
Sumber : serambinews.comhttp://aceh.tribunnews.com/2014/05/30/kata-aman-masih-elitis
Pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Rustam Effendi M.Econ mengatakan, setidaknya ada dua fungsi APBA, yakni fungsi alokasi dan fungsi distribusi. “Anggaran pembangunan harus didistribusikan secara adil, sehingga semua pihak mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama,” kata ekonom senior ini.
Rustam menyebut beberapa strategi untuk menciptakan lapangan kerja, antara lain mendirikan industri pengolahan. Sayangnya, Pemerintah Aceh belum tertarik dengan sektor ini. “Kalau kita lihat data BPS, industri pengolahan tumbuh -5,47% di Semester I tahun ini. Padahal, industri ini sangat potensial menyerap tenaga kerja,” kata alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia ini.
Rustam yang pernah 12 tahun menjadi staf ahli di Bappeda Aceh ini menyebutkan, sektor yang juga harus mendapatkan perhatian pemerintah Aceh adalah pertanian. Soalnya, kata Rustam yang mengutip data BPS, 47 persen warga Aceh bekerja di sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian untuk GDP pun mencapai 30 persen.
Masalahnya, kata Rustam, pemerintah Aceh tidak menjadikan data-data BPS semacam ini sebagai tolok ukur dalam membuat kebijakan. “Selama ini banyak anggaran yang dialokasikan, tidak menjawab persoalan riil masyarakat. Karena proyek-proyek itu dibuat berdasarkan proposal yang masuk, bukan berdasarkan kebutuhan di lapangan,” katanya.
Yang tumbuh sekarang justru lapangan kerja non-basis, seperti bangunan. Akan tetapi, untuk sektor ini pun lebih banyak menyerap tenaga kerja dari luar Aceh. “Mulai atap, keramik, hingga besi untuk pondasi di dalam tanah berasal dari Medan. Yang kita punya cuma kerikil, pasir, batu-bata. Yang lain semua dari luar Aceh, bahkan sebagian tenaga kerjanya, sehingga yang sudah masuk pun mengalir ke luar lagi,” katanya.
Kalau kita melihat data perusahaan-perusahaan yang menambah investasinya pada semster pertama tahun 2014, kebanyakan juga bergerak di sektor pertambangan dan energi. Investasi di sektor tambang memang akan meningkatkan GDP, tapi takkan signifikan mengurangi pengangguran. Soalnya, pekerja di sektor ini orang-orang terlatih, yang punya keterampilan khusus. Paling-paling menambah pendapatan daerah lewat mekanisme pajak. Bahkan berdasarkan data yang dimiliki BKPMD/Bainprom Aceh, tambahan investasi yang katanya sekira Rp 1,5 triliun di Semester I 2014, ternyata cuma menyerap ratusan tenaga kerja baru.
Lalu, bagaimana dengan upaya pemerintah Aceh yang berusaha menarik investor selama ini? “Silakan saja berpromosi, namun tidak cukup dengan hal ini, persoalan riil di lapangan harus dipecahkan,” kata dia.
Persoalan riil di lapangan, menurut Rustam Effendi, adalah banyaknya pengangguran. Sepanjang pemuda-pemuda tanggung di desa-desa belum dapat pekerjaan, sepanjang itulah Aceh belum menjadi negeri yang nyaman berinvestasi.
“Sekarang saya mau tanya, kalau Anda punya uang Rp 500 juta misalnya, mau nggak mendirikan pabrik pengolahan kopi, pabrik pengolahan padi, atau pabrik lain, di desa A misalnya. Pasti Anda akan mikir-mikir, kan? Anda pasti khawatir akan diperas, diminta sumbangan ini-itu. Itulah problema di lapangan,” kata dia.
Perusahaan skala besar pun, yang mungkin mampu menyediakan centeng untuk pengamanan, masih akan berpikir puluhan kali. “Kata aman masih pada tataran elite, sedangkan persepsi orang luar tidak demikian. Persoalan riil belum dipecahkan,” kata dia.
Rustam berharap Pemerintah Aceh tak perlu berpikir muluk-muluk, misal membangun jalan tol, atau mendatangkan investor hebat misalnya dari perusahaan Samsung, atau dari Qatar dengan investasi triliunan rupiah. Dia berharap, uang yang ada dulu digunakan secara benar dan tepat, baik alokasi maupun distribusi.(*)
Sumber : serambinews.comhttp://aceh.tribunnews.com/2014/05/30/kata-aman-masih-elitis
Komentar
Hanya WhatsApp: (+ 44) 7480 729811
Tel .... (+ 44) 7480 729811
Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)