BPS: Sektor Informal Denyut Nadi Ekonomi Aceh

DENYUT nadi ekonomi Aceh kembang kempis seiring lambannya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dari semua leading sektor, hanya pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan mikro yang bisa menarik nafas lega. 

Pasalnya, ketiga sektor tersebut merupakan  pemasok kebutuhan dasar sekaligus penggerak perputaran uang sepanjang awal tahun ini. Namun derap sektor informil ini rentan mengalami pasang surut karena bergantung pada permintaan pasar.

Lambannya realisasi APBA sepanjang triwulan pertama ini dituding menjadi dalang dari mandegnya derap sektor informil. Hingga pekan ini, realisasi keuangan APBA sekira 15%. “Pertumbuhan ekonomi di Aceh bergantung pada 63,9% sektor informal dan 36,41 sektor formil. Pengangguran menurun karena terserap usaha padat karya berupa industri pengolahan skala kecil, namun keberadaannya rentan jika tidak ditopang secara struktural dengan menaikkan level skala industri,” papar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto kepada Serambi, Jumat (22/5).

Meskipun jumlah pengangguran berkurang, namun angka kemiskinan masih fluktuatif  atau naik turun. Maret lalu Aceh mengalami deflasi atau turunnya harga barang yaitu kelompok pangan dan sandang. Teredamnya harga pasar merupakan buah dari panen raya padi dan masih rendahnya permintaan pasar terhadap pakaian.

Kesuksesan pemerintah dalam mengendalikan inflasi serta meredanya suhu politik, menurut Hermanto, harus dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi Aceh yang bisa menjadi darah baru bagi perekonomian yaitu konsep wisata islami. Sektor pariwisata yang menjual paket Syariat Islam sebagai komoditi utama mampu menjadi jantung yang menggerakkan sektor lain seperti transportasi, penginapan, hingga industri padat karya berupa sovenir.

“Untuk kebutuhan jangka pendek pemerintah bisa memanfaatkan SDM lokal, namun untuk jangka panjang dan sekiranya membutuhkan investor luar maka tidak ada salahnya ‘menjemput bola’. Investasi memang membutuhkan modal, namun yang penting cost yang dikeluarkan sesuai dengan hasil yang diharapkan,” ulas Hermanto.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pencetak pengangguran terbesar di Aceh adalah lulusan SLTP/SLTA yang mencapai 11,06%, sebaliknya lulusan SMK yang notabenenya mempunyai keahlian khusus hanya 2,7% yang tidak terserap lapangan kerja. Kendala SDM tersebut, menurut Hermanto, membuat langkah pemerintah dalam menggaet investor asing sah-sah saja dilakukan sepanjang hal itu tidak berhenti di penandatanganan MoU melainkan sampai pada realisasinya. 



Proyek jangka panjang yang baru akan membuahkan hasil minimal 2-3 tahun tersebut, kata Hermanto, harus betul betul dikawal dengan melibatkan SKPA terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, ataupun Dinas Perhubungan.

“Hal itu guna memberi rasa aman bagi investor asing yang masuk akan kelangsungan usahanya. Selain konsep wisata Islami, Aceh sebenarnya memiliki banyak potensi baik di sektor pertanian, pertambangan, maupun kelautan yang tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal namun juga bisa untuk diekspor. Aceh malah masuk dalam 10 provinsi ketahanan pangan Nasional,” terang Hermanto.

Dikatakan, usaha padat karya perlu digenjot untuk menurunkan laju pengangguran maupun populasi kemiskinan. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan semua produk yang dijual sudah dalam bentuk komoditas barang jadi dan bukannya bahan mentah, sehingga terjadi perputaran uang di daerah.(*)

sumber : http://aceh.tribunnews.com/2014/05/30/bps-sektor-informal-denyut-nadi-ekonomi-aceh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mentransformasi data ke dalam bentuk Log dan Ln dengan Eviews7

Transformasi data Ke Dalam Bentuk Log dan Ln dengan SPSS 20

Cara Mendeteksi Outlier Data Menggunakan SPSS