Tak Selamanya Ikan Tuna Berada di Laut
Potongan-potongan cumi dan ikan layang bercampur dengan vitamin C dan vitamin E itu tiba-tiba lenyap diperebutkan puluhan ikan tuna sirip kuning yang terkenal tangkas dan gesit di laut.
Ikan-ikan tuna dengan nama latin Thunnus Albacares berusia beberapa bulan berukuran 2-3 kg itu kini tak lagi tinggal di laut, tapi menghuni kolam beton milik Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budi Daya Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan di Dusun Gondol, Kabupaten Buleleng, Bali.
Jika di habitat aslinya mereka menangkap sendiri ikan kesukaannya, di kolam ini mereka harus diberi makan, tapi cukup sekali setiap hari, agar pertumbuhan bobotnya tak lebih cepat dibanding di laut di mana mereka aktif bergerak.
Mereka pun tumbuh minimal 50 gram per hari, dan kalau bobotnya sudah bertambah lebih dari 3 kg, ikan jenis pelagis, penghuni lapisan atas samudra itu akan dipindahkan dari bak aklimasi ke bak beton lainnya yang disebut bak induk berdiameter 18 meter dan kedalaman enam meter.
Bak ini dilengkapi dengan peralatan suplai air seperti pompa, saringan, tandon air, pipa saluran air, dan biofilter untuk menjaga sirkulasi dan kualitas air laut yang ada dalam bak seperti layaknya lautan, serta "ring blower" untuk menambah suplai oksigen.
Di bak induk ini, tuna-tuna ini cepat tumbuh, hanya dalam dua tahun bobotnya sudah lebih dari 10 kg, dan jika sudah di atas lima tahun bisa tumbuh 3 kg per bulan, bahkan di kolam ini pernah ada tuna yang beratnya sampai 125 kg dengan panjang 1,5 meter.
Menurut Penanggung jawab Kegiatan Pemeliharaan Tuna di KKP Gondol, Jhon Hutapea, antara jantan dan betina baru bisa diketahui setelah tuna-tuna itu semakin besar dan mendekati masa memijah setelah setahun pemeliharaan di bak induk.
"Kalau ikan jantan dan betina beriringan diketahuilah meraka akan memijah, telur-telur pun melayang dan terbuahi oleh sperma-sperma. Telur yang dibuahi berwarna transparan akan naik ke permukaan, sedang yang tak terbuahi dan berkualitas buruk akan turun," katanya.
Telur-telur yang terbuahi itu, ujar dia, kemudian mengalir bersama air di permukaan ke saluran menuju ke laut melalui saringan berukuran 400 mikron dan masuk ke bak pemanenan telur.
Telur dapat dipanen dua jam setelah memijah dan selanjutnya diinkubasi dalam bak fiberglass 500 liter, untuk selanjutnya menetas setelah 24 jam inkubasi dengan bentuk larva hampir mirip dengan larva ikan laut pada umumnya.
"Setelah 17-19 jam menetas, larva ini akan dipelihara di laboratorium selama 60 hari hingga ukurannya mencapai 2-3 cm, dilanjutkan pendederan hingga 2-3 bulan dan berukuran rata-rata 15 cm. Setelah itu baru bisa dipindahkan ke kolam pembesaran atau dilepas ke laut," katanya.
Disebutkannya, ada beberapa jenis tuna yang bisa dijumpai di perairan Indonesia, yaitu tuna sirip biru (bluefin), tuna mata besar (big-eye) dan tuna sirip panjang (albacore), namun yang terbanyak adalah tuna sirip kuning (yellowfin) yang merupakan ikan tuna tropis (63 persen dari hasil tangkapan).
Populasi Turun
Menurut Kepala Balai Besar Litbang Budidaya Laut, KKP, Dr Rudhy Gustiano, pemerintah saat ini sedang menggalakkan penerapan kebijakan budi daya ikan tuna menyusul indikasi penuruan populasinya di alam.
Saat ini, ujarnya, hasil tangkapan tuna di laut makin sedikit dengan bobot makin kecil, sehingga daerah penangkapan tuna juga semakin jauh dan biaya penangkapannya menjadi terlalu besar bagi nelayan.
"Telah terjadi penurunan populasi tuna di alam, padahal perikanan tuna merupakan sumber daya penting bagi Indonesia," ujarnya.
Di ASEAN, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand sebagai produsen ikan tuna, di mana ekspor tuna Indonesia pada 2011 mencapai 141.774 ton dengan nilai 499 juta dolar AS dan terus meningkat pada 2012, dengan Jepang merupakan pasar terbesar.
Harga tuna di pasaran juga cukup tinggi, mencapai rata-rata 5,3 dolar AS per kg (Bali) pada 2012, karena itu, ujarnya, perlu ada jaminan keberlanjutan pasokan benih tuna agar tidak bergantung benih dari alam.
Ia mengatakan, berhubung populasi tuna dunia semakin turun sejak dekade terakhir dan karena Indonesia adalah eksportir penting tuna ke Jepang, Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang pun sempat merintis kerja sama riset pembenihan tuna sirip kuning dengan KKP pada 2001-2005.
"Meski proyek telah selesai, riset tuna sirip kuning tetap berjalan dan pada 2008-2010 KKP kembali bekerja sama dengan ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) terkait tuna. Kini kami kembali menggalakkan budi daya ini dengan dana sendiri," kata Rudhy.
Dari hasil riset bersama Jepang, diketahui memindahkan tuna ke bak beton, membuat kematian tuna sangat tinggi, mencapai 20 persen dari populasi berhubung tuna merupakan ikan pengelana lautan lepas yang sangat aktif bergerak.
"Kami sudah buatkan karet pelindung di sepanjang dinding bak, tapi tuna-tuna yang berenang cepat tak sengaja menabrak tembok beton tak bisa terhindarkan, misalnya ketika mereka kawin. Angka kematian ini diharapkan jauh menurun dengan memindahkannya ke kolam jaring apung," tambah Jhon.
Balai Besar, ujarnya, pada 2013 telah menyiapkan lima unit Keramba Jaring Apung (KJA), yakni satu unit berdiameter 48,8 meter dengan kedalaman jaringnya 9 meter untuk pemeliharaan induk, dan empat unit lagi berdiameter 48,8 meter dengan kedalaman 12 meter untuk penggemukan tuna.
Di KJA yang jaraknya 300-500 meter dari bibir pantai ini, tambah Jhon, tuna yang dibudidaya bisa mencapai 7.000 ekor per unit, meski saat ini baru dipakai satu unit untuk pemeliharaan induk sebanyak 114 ekor dengan berat rata-rata 10 kg, hasil tangkapan nelayan sekitar.
Dengan keramba berbentuk lingkaran terbuat dari bahan polimer ramah lingkungan High-density polyethylene (HDPE) senilai Rp2,5 miliar per unit, lanjut dia, tingkat kematian tuna diharapkan jarang terjadi berhubung dinding beton telah berganti jaring tambang.
Selain itu pembenihan tuna diharapkan juga menjadi lebih hemat dibandingkan dengan menggunakan bak beton, ujarnya.
"Tidak diperlukan lagi pompa dan peralatan lainnya serta biaya perawatan rutin dan listrik yang besar untuk menjadikan kolam bisa seperti kondisi di lautan. Ini karena keramba jaring apung sudah berada di laut, habitat tuna," katanya.
Sedangkan komponen lain yang berbiaya besar dari riset pembenihan tuna namun tak dapat dihilangkan adalah pakan yang mencapai 10-20 persen dari bobot badan, berhubung tuna termasuk ikan yang rakus.
"Di pantai Gondol ini kami juga melengkapi dengan rumpon untuk mendapat ikan-ikan kecil pakan kesukaan tuna," tambahnya.
Rudhy Gustiano menargetkan, pada 2017 Balai Besar Litbang Budi Daya Laut KKP ini telah mampu menjadi penyedia benih tuna yang semakin langka di alam (restocking) serta menjadi pusat pembesaran tuna untuk industri perikanan. (Dewlest)
sumber: klik disni
Komentar