Dana Otsus vs PAD

Oleh Rustam Effendi

TULISAN Bulman Satar dan Asrizal Luthfi tentang persoalan Dana Otsus (Otonomi Khusus) Aceh di harian ini beberapa hari lalu (12/2/2013) menarik disimak. Di harian ini pula sebelumnya saya pernah menguraikan persoalan krusial ini (lihat; Serambi, 11/9/2012). 

Benar memang, dominasi kontribusi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam struktur penerimaan Pemerintah Aceh masih begitu menonjol, yang hingga posisi 2010 lalu, kontribusinya tidak kurang dari 55,25%. Malah, jika penerimaan Dana Otsus digabung dengan sumber penerimaan lainnya dari pemerintah pusat, yakni dana transfer (dana perimbangan) dan lain-lain pendapatan yang sah, kontribusinya mencapai 88,56% (2010). Dengan gambaran ini, berarti penerimaan dari sumber daerah sendiri, seperti pendapatan asli daerah (PAD) hanya menyumbang sekitar 11,44% saja. 

 Belum khawatir
Sejauh ini Pemerintah Aceh belum terlalu khawatir mengenai masalah ini, apalagi mengingat potensi penerimaan dari sumber Dana Otsus masih amat menjanjikan. Setidaknya, untuk periode Tahun 2014-2022 Aceh masih menerima Dana Otsus sebesar 2% dari dana alokasi umum (DAU), dan periode 2023-2027 sebesar 1% dari DAU. 

Pada 2013 ini, seperti diberitakan Serambi, Aceh menerima Dana Otsus sebanyak Rp 6,6 triliun. Jumlah ini sedikit berada di atas prediksi penulis sebelumnya (sekitar Rp 5,9 triliun). Jika dihitung sejak tahun pertama (2008) Aceh dikucuri Dana Otsus, yang diterima Aceh pada 2013 ini hampir dua kali lipat dari tahun pertama. 

Tahun pertama (2008), Aceh hanya menerima Dana Otsus Rp 3,59 triliun, lalu naik sedikit menjadi Rp 3,73 triliun (2009), berikutnya bertambah jadi Rp 3,85 triliun (2010), kemudian Rp 4,51 triliun (2011), dan Rp 5,40 triliun (2012). Dengan deskripsi data ini, Dana Otsus yang diterima selama 6 tahun (2008-2013) meningkat rata-rata sebesar 10,68% per tahunnya. 

Dengan persentase kenaikan rata-rata terkini (sebesar 10,68% per tahun), menurut perkiraan penulis, pada 2014 mendatang Pemerintah Aceh akan menerima Dana Otsus sedikitnya Rp 7,30 triliun, dan 2017 berada pada kisaran angka Rp 9,90 triliun-Rp 10,0 triliun, dengan asumsi bahwa jumlah DAU juga terus meningkat setiap tahunnya.

Kenaikan penerimaan Dana Otsus ini juga berimplikasi pada besaran belanja Pemerintah Aceh. Pada 2013 ini, misalnya, dana yang digelontorkan dalam RAPBA mencatat angka tertinggi dalam sejarah pembelanjaan Aceh. Tahun ini Pemerintah Aceh mengalokasikan dana belanja sedikitnya Rp 11,785 triliun, atau hampir tiga kali lipat dibanding belanja enam tahun lalu (2007) yang hanya Rp 4,047 triliun. 

Meningkatnya jumlah Dana Otsus yang diterima Pemerintah Aceh setiap tahunnya belum diimbangi dengan kemampuan keuangan dari sumber sendiri. Tahun 2013, jumlah PAD Aceh ditargetkan hanya Rp 804,284 miliar, atau persis sama dengan tahun sebelumnya (2012). Berarti dalam dua tahun ini jumlahnya tidak mengalami kenaikan. Tahun 2011 jumlah PAD Aceh Rp 797,29 miliar, lalu Tahun 2010 Rp 796,95 miliar, atau sedikit lebih tinggi dibanding 2009 (Rp 735,21 miliar), sementara 2008 jumlahnya Rp 716,29 miliar. Berarti jumlah PAD Aceh selama lima tahun terakhir (2008-2012) hanya tumbuh rata-rata  2,34% per tahunnya (di bawah dua digit).

Kontribusinya pun terlihat tidak menampakkan kemajuan yang membaik dari tahun ke tahun. Sumbangan PAD terhadap total pendapatan Aceh pada 2010 turun menjadi 11,44%, jauh di bawah kontribusi 2007, yang mencapai 19,50%. Andai data yang dikutip Luthfi benar, kontribusi PAD pada 2011 malah telah turun jadi 7,0%.

 Strategi antisipasi 
Kucuran Dana Otsus yang terus meningkat setiap tahunnya sesuatu yang patut disyukuri. Namun, harus diingat bahwa berkah itu ada limitasi waktu. Pemerintah Aceh harus menyiapkan formulasi kebijakan atau langkah-langkah antisipatif yang taktis-strategis guna menghindari kondisi terburuk pascaberakhirnya alokasi Dana Otsus nanti. Seperti pernah saya sarankan di harian ini, setidaknya ada sejumlah langkah penting yang harus dijadikan fokus oleh Pemerintah Aceh. 

Langkah awal dan relatif mudah adalah menggenjot penerimaan  dari pajak daerah. Yang paling berpeluang adalah mengoptimalkan pemungutan pajak dari pos penerimaan pajak kenderaan bermotor (PKB) dan bea balik nama-kendaraan bermotor (BBN-KB). Pemetaan potensi riil obyek pajaknya harus dilakukan secermat mungkin, diikuti dengan rancangan formula dan tindakan nyata di lapangan secara komprehensif bersama-sama dengan instansi terkait. 

Penguatan kapasitas badan usaha milik daerah juga harus segera diupayakan secara konkrit. Strateginya tidak terlalu sukar diterapkan jika memang benar-benar ada kemauan dari Pemerintah Aceh. Lakukan revitalisasi badan usaha milik daerah yang ada sesegera mungkin. Bentuk entitas baru, misalnya, sebuah holding company (perusahaan induk), lalu jabarkan operasionalisasinya ke dalam bentuk anak-anak perusahaan. Anak-anak perusahaan ini dibentuk sesuai dengan kekayaan potensi sumberdaya alam Aceh. Berikan peluang kepada badan-badan usaha ini mengelola usaha-usaha di bidang ekonomi; Apakah itu dalam usaha pertanian (pangan), perkebunan, perikanan, pertambangan, termasuk juga bidang infrastruktur dan jasa. Perannya persis seperti Badan Usaha Milik Negera (BUMN) pada level nasional. Pilih orang-orang yang profesional sebagai pengelolanya. Hasil dari setiap aktivitas usahanya harus disisihkan sebagai penerimaan daerah (PAD).  

Sumber daya aparatur pemerintah yang mengelola penerimaan daerah (SKPA teknis/terkait) harus ditingkatkan etos kerja dan komitmen moralnya. Target PAD 2013 sebesar Rp 804,284 miliar (sama dengan 2012 lalu) mencerminkan masih kurangnya etos kerja dan komitmen pengelola keuangan daerah, terutama dalam memperkuat kapasitas fiskal daerah. Seharusnya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 6,0%, setidaknya target nilai PAD 2013 adalah Rp 852,541 miliar. Atau, jika berpijak pada angka kenaikan rata-rata PAD 2,34% per tahunnya (selama 2008-2012), semestinya target jumlah PAD 2013 ini sedikitnya Rp 823,104 miliar (bukan Rp 804.284 miliar).

Sembari melakukan penguatan kapasitas dari sumber-sumber keuangan sendiri, Pemerintah Aceh juga harus melakukan rasionalisasi program/proyek secara tepat dan objektif. Idealnya, program/proyek-kegiatan yang benar-benar bermanfaat dan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat harus didahulukan. Kebijakan anggaran (dana) belanja daerah harusnya tetap berpijak pada prinsip efisiensi, tidak boros, dan menghasilkan keluaran yang bernilai.

 Nilai tambah
Alokasi belanja juga harus diarahkan utamanya untuk investasi fisik guna memperkuat fondasi ekonomi Aceh ke depan. Mengapa demikian, karena dengan cara inilah penciptaan nilai tambah lebih optimal dan penyediaan lapangan kerja bagi para penganggur dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, akan dapat diwujudkan. Seperti pernah saya tulis di harian ini (Serambi, 5/6/2012), dengan angka ICOR Aceh sebesar 4,64 (2010), Aceh butuh investasi fisik sedikitnya Rp 8,6-Rp 9,7 triliun per tahun agar ekonominya bisa tumbuh 6,0%. Kebutuhan investasi fisiknya bisa lebih, bila ekonominya ingin tumbuh di atas 6,0% per tahun.

Pemanfaatan dana Silpa untuk memperbesar anggaran belanja memang dibenarkan dan tidak salah. Namun, injeksi modal itu sebaiknya bukan untuk hal-hal yang tidak produktif (konsumtif), melainkan untuk kepentingan penguatan struktur ekonomi dan peningkatan kapasitas fiskal Aceh ke depan. Mudah-mudahan Pemerintah Aceh mau menaruh peduli tentang persoalan krusial ini. Wallahu’alam bissawab.   

* Rustam Effendi, Pengamat Ekonomi Aceh, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: rust_effendi@yahoo.com

sumber: klik disni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mentransformasi data ke dalam bentuk Log dan Ln dengan Eviews7

Transformasi data Ke Dalam Bentuk Log dan Ln dengan SPSS 20

Cara Mendeteksi Outlier Data Menggunakan SPSS