Belajar Sistem Informasi Gampong, Datanglah ke Abdya
Ketika asik membaca koran Serambi seperti biasanya, ada hal yang mampu membuat saya tersenyum bangga, ya di sudut salah satu halamannya, muncul kolom "Pariwara" dengan judul "Belajar Sistem Informasi Gampong, Datanglah ke Abdya", tokoh yang berada disitu adalah Pak WERI, S.E, MA, Dosen saya di EKP Unsyiah yang kini menjabat sebagiai Kepala Bappeda Aceh Barat Daya (ABDYA). Ternyata Pemkab Abdya tidak salah mengangkat beliau sebagai kepala Bappeda, buktinya dengan di aplikasikannnya program SAIG (Sistem Adminitrasi dan Informasi Gampong) yang berasal dari studi banding beliau ke Nusa Tenggara Barat..Terbersit kagum akan pengaplikasian hasil dari studi banding tersebut ke daerah Abdya.. Semoga sehat selalu dan selalu dalm lindungan Allah SWT Pak, dan terus Berkarya untuk membangun daerah....
(Aceh.Tribunnews.com)..TANPA data, tak ada perencanaan pembangunan. Aceh bahkan tidak akan pernah mencapai sasaran pembangunan apabila database (pangkalan data)-nya tidak ada. “Tanpa database, percuma saja dirancang semua program ini-itu karena kita tak tahu dari mana memulainya dan tak tahu kapan harus mengakhirinya.”
Itulah yang menjadi stressing pembicaraan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Aceh Barat Daya (Bappeda Abdya), Weri SE MA saat tampil dalam Seminar Inovasi Pelayanan Publik di Aceh yang digelar Logica 2 Australian Aid (AusAid) di Hotel Hermes Banda Aceh, Rabu pekan lalu.
Dari sekian banyak materi presentasi yang merupakan success story instansi/lembaga yang selama ini didampingi dan difasilitasi Logica 2 di Aceh, salah satunya adalah tentang Sistem Administrasi dan Informasi Gampong (SAIG). Materi ini menjadi andalan Pemkab Abdya karena Abdya sudah hampir setahun menerapkannya. Itu sebab, Tim Logica 2 Banda Aceh mengundang Kepala Bappeda Abdya, Weri MA untuk mempresentasikannya di depan 300 peserta yang menghadiri seminar tersebut.
Dengan gayanya yang komunikatif dan kocak, Weri berhasil memperkenalkan SAIG ala Abdya serta berbagai keunggulan dan manfaatnya. Tak lupa pula ia beberkan apa saja tantangannya.
Adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan bahwa hak warga desa dijamin untuk mendapatkan informasi tentang pembangunan desa. Pada Pasal 86 UU itu malah dinyatakan pemerintah wajib mengembangkan sistem informasi desa.
Ketika Pemkab Abdya ingin mengembangkan sistem informasi desa, di Aceh tahun lalu belum ada kabupaten yang bisa dijadikan tempat berguru untuk mendalami sistem administrasi dan informasi desa (SAID). Pemkab Abdya yang sejak awal antusias melengkapi SAID-nya, mendapat kabar dari Tim Logica 2 Banda Aceh bahwa di Desa Sawe, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah diterapkan SAID yang hasilnya memuaskan.
Akhirnya, tim yang ditunjuk Bupati Abdya, Ir Jufri Hasanuddin bertolak ke Desa Sawe NTB pada 24-25 Juli 2013. Di sinilah Weri dkk mendalami segala sesuatunya tentang SAID, program yang didukung oleh ACCESS (The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme).
Konsep SAID itu pun diadopsi dan dimutatis mutandis untuk diterapkan di Abdya. “Tapi berhubung di Aceh, termasuk di Abdya, sudah banyak SAID, maka istilahnya kita ganti menjadi SAIG,” kata Weri berseloroh. Candaan Weri itu dia maksudkan untuk menyatakan bahwa SAID (Said) yang merupakan gelar bangsawan Aceh keturunan Arab, memang tergolong banyak di Aceh. Maka ia ganti menjadi SAIG, karena istilah desa di Aceh sudah dibakukan menjadi gampong, sebagaimana diatur di dalam Qanun Aceh tentang Gampong. Jadi, kalau di NTB namanya SAID, di Abdya justru SAIG.
Nah, dalam SAIG ala Abdya ini, kata Weri, 63 indikator sosial ekonomi ada di sana. Dengan demikian, tergambar lengkap siapa yang miskin dan siapa yang kaya di setiap desa. Jika suatu waktu ada bantuan untuk warga miskin di sebuah desa di Abdya yang sudah diinput data SAIG-nya, maka bantuan itu tidak akan salah sasaran. Soalnya, Abdya kini sudah punya peta sosial kemiskinan. Berkat SAIG langsung ketahuan siapa orang miskin yang tidak mendapat bantuan yang seharusnya ia terima dan siapa pula orang kaya yang menerima bantuan untuk orang miskin.
Data SAIG yang online itu dimungkinkan terhimpun, karena diawali dengan kegiatan pemetaan apresiatif gampong (PAG), dilanjutkan dengan pertemuan apresiatif kabupaten (PAK). Untuk itu, Pemkab Abdya menyiapkan dan melatih sejumlah kader pemetaan apresiatif gampong (KPAG) dan fasilitator pemetaan apresiatif gampong (FPAG), serta fasilitator teknis pemetaan (FTP). Pelatihan para kader dan fasilitator ini dibantu AusAid melalui LOGICA 2 (Local Governance Innovations for Communities in Aceh) Fase 2.
“Pendeknya, Logica 2 telah memberi kontribusi sangat besar dalam SAIG ini. Sedari awal program percontohan ini pun didukung oleh Bappeda Aceh,” kata Weri yang juga dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah.
Namun diakuinya, belum semua kecamatan di Abdya sudah ditata PAG dan SAIG-nya. Abdya akan mereplikasi PAG dan SAIG untuk 78 desa lagi yang tersebar di lima kecamatan lainnya.
Jadi, kalau mau belajar sistem administrasi dan informasi gampong, tak perlu lagi di NTB atau Pulau Jawa, cukup datang saja ke Abdya. “Dengan senang hati kami siap share pengalaman,” kata Weri yang berdarah Minang dan Alas.
“Hanya dua menit, sebuah surat pindah di desa bisa diproses dengan cekatan oleh kader yang hanya berpendidikan sekolah menengah,” kata Weri berpromosi.
Saat ini Aceh Tamiang, Aceh Timur, Bireuen, dan Pidie Jaya telah menyertakan kader gampong mandirinya untuk dilatih di Abdya karena tertarik untuk mereplikasi PAG dan SAIG. Itu menandakan, Abdya bakal menjadi guru yang baik di bidang PAG dan SAIG. Bravo Abdya!
Apa Itu SAIG?
SAIG adalah Sistem Administrasi dan Informasi Gampong. Di Aceh, program ini pertama kali diterapkan di Aceh Barat Daya (Abdya). SAIG dikembangkan dengan memanfaatkan database penduduk (by name by address).
SAIG terdiri atas dua bagian, yaitu sistem administrasi (menyimpan informasi pribadi penduduk, dipergunakan untuk keperluan layanan administrasi, dan hanya bisa diakses oleh aparat desa yang diberi wewenang) serta sistem informasi (berisi informasi umum desa online melalui website/portal).
Database dan visualisasi melalui peta interaktif sudah pula diterapkan di sebagian Abdya. Ini memungkinkan visualisasi informasi dan data, sehingga mempermudah pemahaman dan analisis fakta database. Dengan adanya peta interaktif itu, apa lantai dan cat atap rumah setiap penduduk di sebuah desa pun terdata.
Selain itu visualisasi akan memicu diskusi terkait topik spesifik. Misalnya, siapa dan di mana orang miskin, siapa penerima program, perubahan dalam status sebagai orang miskin, dan sebagainya. Terkahir, targetting berbagai program dapat ditingkatkan akurasi sasarannya berkat SAIG.
Dalam sistem administrasi desa juga terdapat data statistik seperti grafik jenis pekerjaan warga. “Banyak hal yang dapat dilihat dari peta ini. Untuk melihat jenis kelamin cukup mengetik di sistem, maka keluarlah jumlah jenis kelamin yang ada di sebuah desa. Begitu juga ketika kita ingin melihat data jumlah KK perempuan, cukup hanya diketik dan keluarlah jumlah kepala keluarga perempuan,” kata Nashrun Marzuki, Staf Khusus Bupati Abdya Bidang Politik dan Public Relation.
Menjaring data
Ada beberapa proses dalam mendapatkan data yang valid. Pertama, kader pemberdayaan masyarakat (KPM) menggali aset dan potensi desa. Saat potensi dan aset sudah terdata, maka warga kembali dikumpulkan untuk menyepakati. Tidak hanya sampai di situ, KPM, keuchik, Sekdes, dan kepada dusun mendata dari rumah ke rumah guna mencari informasi akurat dari warga. Setelah data diperoleh, kembali dilakukan pleno dengan warga. KPM memperoleh data klasifikasi tingkat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan kesepakatan saat penggalian indikator, masyarakat menyepakati tiga klasifikasi, yaitu: miskin, sedang, dan kaya yang kemudian diberi warna merah, kuning, dan hijau. (*)
Sumber : klik disni
(Aceh.Tribunnews.com)..TANPA data, tak ada perencanaan pembangunan. Aceh bahkan tidak akan pernah mencapai sasaran pembangunan apabila database (pangkalan data)-nya tidak ada. “Tanpa database, percuma saja dirancang semua program ini-itu karena kita tak tahu dari mana memulainya dan tak tahu kapan harus mengakhirinya.”
Itulah yang menjadi stressing pembicaraan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Aceh Barat Daya (Bappeda Abdya), Weri SE MA saat tampil dalam Seminar Inovasi Pelayanan Publik di Aceh yang digelar Logica 2 Australian Aid (AusAid) di Hotel Hermes Banda Aceh, Rabu pekan lalu.
Dari sekian banyak materi presentasi yang merupakan success story instansi/lembaga yang selama ini didampingi dan difasilitasi Logica 2 di Aceh, salah satunya adalah tentang Sistem Administrasi dan Informasi Gampong (SAIG). Materi ini menjadi andalan Pemkab Abdya karena Abdya sudah hampir setahun menerapkannya. Itu sebab, Tim Logica 2 Banda Aceh mengundang Kepala Bappeda Abdya, Weri MA untuk mempresentasikannya di depan 300 peserta yang menghadiri seminar tersebut.
Dengan gayanya yang komunikatif dan kocak, Weri berhasil memperkenalkan SAIG ala Abdya serta berbagai keunggulan dan manfaatnya. Tak lupa pula ia beberkan apa saja tantangannya.
Adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan bahwa hak warga desa dijamin untuk mendapatkan informasi tentang pembangunan desa. Pada Pasal 86 UU itu malah dinyatakan pemerintah wajib mengembangkan sistem informasi desa.
Ketika Pemkab Abdya ingin mengembangkan sistem informasi desa, di Aceh tahun lalu belum ada kabupaten yang bisa dijadikan tempat berguru untuk mendalami sistem administrasi dan informasi desa (SAID). Pemkab Abdya yang sejak awal antusias melengkapi SAID-nya, mendapat kabar dari Tim Logica 2 Banda Aceh bahwa di Desa Sawe, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah diterapkan SAID yang hasilnya memuaskan.
Akhirnya, tim yang ditunjuk Bupati Abdya, Ir Jufri Hasanuddin bertolak ke Desa Sawe NTB pada 24-25 Juli 2013. Di sinilah Weri dkk mendalami segala sesuatunya tentang SAID, program yang didukung oleh ACCESS (The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme).
Konsep SAID itu pun diadopsi dan dimutatis mutandis untuk diterapkan di Abdya. “Tapi berhubung di Aceh, termasuk di Abdya, sudah banyak SAID, maka istilahnya kita ganti menjadi SAIG,” kata Weri berseloroh. Candaan Weri itu dia maksudkan untuk menyatakan bahwa SAID (Said) yang merupakan gelar bangsawan Aceh keturunan Arab, memang tergolong banyak di Aceh. Maka ia ganti menjadi SAIG, karena istilah desa di Aceh sudah dibakukan menjadi gampong, sebagaimana diatur di dalam Qanun Aceh tentang Gampong. Jadi, kalau di NTB namanya SAID, di Abdya justru SAIG.
Nah, dalam SAIG ala Abdya ini, kata Weri, 63 indikator sosial ekonomi ada di sana. Dengan demikian, tergambar lengkap siapa yang miskin dan siapa yang kaya di setiap desa. Jika suatu waktu ada bantuan untuk warga miskin di sebuah desa di Abdya yang sudah diinput data SAIG-nya, maka bantuan itu tidak akan salah sasaran. Soalnya, Abdya kini sudah punya peta sosial kemiskinan. Berkat SAIG langsung ketahuan siapa orang miskin yang tidak mendapat bantuan yang seharusnya ia terima dan siapa pula orang kaya yang menerima bantuan untuk orang miskin.
Data SAIG yang online itu dimungkinkan terhimpun, karena diawali dengan kegiatan pemetaan apresiatif gampong (PAG), dilanjutkan dengan pertemuan apresiatif kabupaten (PAK). Untuk itu, Pemkab Abdya menyiapkan dan melatih sejumlah kader pemetaan apresiatif gampong (KPAG) dan fasilitator pemetaan apresiatif gampong (FPAG), serta fasilitator teknis pemetaan (FTP). Pelatihan para kader dan fasilitator ini dibantu AusAid melalui LOGICA 2 (Local Governance Innovations for Communities in Aceh) Fase 2.
“Pendeknya, Logica 2 telah memberi kontribusi sangat besar dalam SAIG ini. Sedari awal program percontohan ini pun didukung oleh Bappeda Aceh,” kata Weri yang juga dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah.
Namun diakuinya, belum semua kecamatan di Abdya sudah ditata PAG dan SAIG-nya. Abdya akan mereplikasi PAG dan SAIG untuk 78 desa lagi yang tersebar di lima kecamatan lainnya.
Jadi, kalau mau belajar sistem administrasi dan informasi gampong, tak perlu lagi di NTB atau Pulau Jawa, cukup datang saja ke Abdya. “Dengan senang hati kami siap share pengalaman,” kata Weri yang berdarah Minang dan Alas.
“Hanya dua menit, sebuah surat pindah di desa bisa diproses dengan cekatan oleh kader yang hanya berpendidikan sekolah menengah,” kata Weri berpromosi.
Saat ini Aceh Tamiang, Aceh Timur, Bireuen, dan Pidie Jaya telah menyertakan kader gampong mandirinya untuk dilatih di Abdya karena tertarik untuk mereplikasi PAG dan SAIG. Itu menandakan, Abdya bakal menjadi guru yang baik di bidang PAG dan SAIG. Bravo Abdya!
Apa Itu SAIG?
SAIG adalah Sistem Administrasi dan Informasi Gampong. Di Aceh, program ini pertama kali diterapkan di Aceh Barat Daya (Abdya). SAIG dikembangkan dengan memanfaatkan database penduduk (by name by address).
SAIG terdiri atas dua bagian, yaitu sistem administrasi (menyimpan informasi pribadi penduduk, dipergunakan untuk keperluan layanan administrasi, dan hanya bisa diakses oleh aparat desa yang diberi wewenang) serta sistem informasi (berisi informasi umum desa online melalui website/portal).
Database dan visualisasi melalui peta interaktif sudah pula diterapkan di sebagian Abdya. Ini memungkinkan visualisasi informasi dan data, sehingga mempermudah pemahaman dan analisis fakta database. Dengan adanya peta interaktif itu, apa lantai dan cat atap rumah setiap penduduk di sebuah desa pun terdata.
Selain itu visualisasi akan memicu diskusi terkait topik spesifik. Misalnya, siapa dan di mana orang miskin, siapa penerima program, perubahan dalam status sebagai orang miskin, dan sebagainya. Terkahir, targetting berbagai program dapat ditingkatkan akurasi sasarannya berkat SAIG.
Dalam sistem administrasi desa juga terdapat data statistik seperti grafik jenis pekerjaan warga. “Banyak hal yang dapat dilihat dari peta ini. Untuk melihat jenis kelamin cukup mengetik di sistem, maka keluarlah jumlah jenis kelamin yang ada di sebuah desa. Begitu juga ketika kita ingin melihat data jumlah KK perempuan, cukup hanya diketik dan keluarlah jumlah kepala keluarga perempuan,” kata Nashrun Marzuki, Staf Khusus Bupati Abdya Bidang Politik dan Public Relation.
Menjaring data
Ada beberapa proses dalam mendapatkan data yang valid. Pertama, kader pemberdayaan masyarakat (KPM) menggali aset dan potensi desa. Saat potensi dan aset sudah terdata, maka warga kembali dikumpulkan untuk menyepakati. Tidak hanya sampai di situ, KPM, keuchik, Sekdes, dan kepada dusun mendata dari rumah ke rumah guna mencari informasi akurat dari warga. Setelah data diperoleh, kembali dilakukan pleno dengan warga. KPM memperoleh data klasifikasi tingkat kesejahteraan keluarga. Berdasarkan kesepakatan saat penggalian indikator, masyarakat menyepakati tiga klasifikasi, yaitu: miskin, sedang, dan kaya yang kemudian diberi warna merah, kuning, dan hijau. (*)
Sumber : klik disni
Komentar