Aceh Gagal Capai Target Ekonomi
Assalamualaikum wr wb...
Berita Analisis Pertumbuhan Perekonomian Provinsi Aceh...
Oleh : Rustam Effendi
LIPUTAN eksklusif tentang “Aceh Gagal Capai Target RPJM” (Serambi, 23/3/2015) amat memprihatinkan kita semua. Hal ini dikarenakan beberapa target yang termaktub dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017 dan telah diqanunkan, terutama di bidang ekonomi, seperti angka pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, inflasi, termasuk angka kemiskinan, realisasinya tidak sebagaimana diharapkan. Bahkan, yang sangat memiriskan hati, target pertumbuhan ekonomi Aceh yang telah dirancang pihak perencana daerah ini, realisasinya amat jauh dari harapan.
Seperti dirilis harian ini, pertumbuhan ekonomi Aceh (non migas) pada 2013 ditargetkan sebesar 6,5%, 2014 (6,7%), 2015 (6,8%), 2016 (7,2%), dan 2017 sebesar 8,0%. Kenyataannya, pada 2013 pertumbuhan ekonomi hanya mampu dicapai 4,4% (terdapat selisih 2,1%) dan 2014 hanya 4,13% (selisihnya bertambah menjadi 2,57%). Tingkat pengangguran, pada 2013 ditargetkan 7,8%, tapi realisasinya lebih tinggi (10,30%, atau beda 2,5%), 2014 ditargetkan 7,6%, tapi realisasinya pun masih 10,30% (selisihnya makin tinggi, yakni 2,7%).
Untuk tingkat inflasi pun tidak memuaskan, dari target sebesar 4,2% pada 2013, ternyata realisasinya sebesar 7,31%. Pun untuk 2014, realisasinya ternyata 8,09%, sementara targetnya 4,4% (terjadi selisih sekitar 3,69%). Realisasi untuk tingkat kemiskinan juga menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan. Kendati pada 2013 realisasinya sudah memperlihatkan kemajuan, yaitu sebesar 17,72% (dari target 18,0%), tapi pada 2014 realisasinya lebih buruk dari yang diharapkan, yakni 16,0% (dari target 15,5%).
Tulisan ini hanya fokus membahas persoalan pertumbuhan ekonomi Aceh. Mengapa? Kendatipun keberhasilan pembangunan ekonomi dapat ditelisik dari dua aspek lain (selain pertumbuhan ekonomi), yakni kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development), namun jelas hanya pertumbuhan ekonomi yang dipandang lebih terukur/objektif penilaiannya (Hae S. Kim, 2014). Ketertarikan penulis untuk fokus pada hal ini juga dikarenakan perbedaan (selisih) antara angka pertumbuhan yang terealisasi dan angka yang ditargetkan dalam RPJMA 2012-2017), tampak semakin melebar dari tahun ke tahun. Dan, dapat dipastikan pelebaran jurang (gap) antara target dan realisasi ini akan semakin menganga pada tahun-tahun mendatang (2015, 2016, dan 2017).
Secara tidak langsung, hal ini pun akan menerangkan kepada publik betapa pihak perencana di daerah ini tidak menggunakan akal sehat (rasionalitas) pada saat membuat target perencanaan pembangunan, jika kita tidak ingin menyebutnya asal-asalan. Pihak perencana lupa, membuat target yang tidak akurat dengan asumsi yang tidak jelas justru akan menjadi bumerang mengingat kedudukan dokumen RPJM Aceh menjadi dasar penilaian kinerja Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017.
Sudah diingatkan
Persis, hampir tiga tahun yang lalu penulis sudah mengingatkan tim penyusun RPJMA 2012-2017 (baca: pihak Bappeda Aceh) agar berhati-hati dalam menetapkan target (sasaran) pertumbuhan ekonomi. Melalui artikel “Menyusun RPJM Realistis” (Serambi, 5/6/2012), penulis sudah sarankan agar dihitung dengan cermat ketersediaan besaran investasi fisik yang dibutuhkan untuk setiap angka pertumbuhan ideal yang ingin dicapai oleh Pemerintah Aceh. Ini penting agar angka-angka target yang dituangkan dalam dokumen RPJMA benar-benar realistis, dan lebih penting lagi tidak menjadi “celah” bagi pihak lain untuk melihat kelemahan kinerja eksekutif (baca: Gubernur dan perangkatnya).
Penyusun RPJMA 2012-2017.
Mengapa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (misalnya, di atas 5%), sulit dicapai Aceh selama ini? Tidak lain karena daerah ini belum mampu menyediakan investasi fisik (bukan non fisik) yang memadai. Investasi fisik adalah investasi yang dilakukan untuk menunjang setiap proses peningkatan produksi. Seperti diterangkan dalam literatur ekonomi, juga pernah diulas Basri (Kompas, 1/6/2009), pertumbuhan ekonomi berhubungan langsung dengan besaran investasi dan berhubungan terbalik dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). ICOR itu sendiri menunjukkan besaran unit investasi fisik yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit output. Singkatnya, ICOR menerangkan tingkat efektivitas dari investasi modal.
Penulis memperkirakan, jika digunakan angka ICOR Aceh 2010 sebesar 4,64 (hitungan BPS), maka untuk ekonomi Aceh dapat tumbuh rata-rata 6%, sedikitnya dibutuhkan investasi fisik sebanyak Rp 8,6 - Rp 9,7 triliun tiap tahunnya. Kalau ingin ekonominya tumbuh rata-rata hanya 5% selama 2012-2017, sekurang-kurangnya juga butuh investasi fisik sekitar Rp 7,1-Rp 8,1 triliun per tahunnya (jika didasarkan PDRB Aceh 2011, harga konstan).
Dengan rasio investasi terhadap PDRB Aceh yang rata-rata sekitar 23,0%, kebutuhan itu baru mampu dipenuhi sebanyak Rp 1,6-Rp 1,8 triliun (untuk tumbuh 5%), atau Rp 2-Rp 2,2 triliun (untuk tumbuh 6%). Persoalannya, dari mana ketidakcukupan investasi fisik itu (diperkirakan sekitar Rp 5,5 triliun-Rp 7,5 triliun), mampu dipenuhi oleh Pemerintah Aceh setiap tahunnya dengan kapasitas fiskal yang ada selama ini?
Sejauh ini, pemerintah Aceh tidak pernah menerangkan secara jelas sumber-sumber investasi fisik yang dapat dikerahkan untuk dapat menopang besaran laju pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai seperti dituangkan dalam RPJMA. Dan, tidak dapat dipungkiri, jika investasi fisik yang ada pada tahun-tahun terakhir ini masih sepenuhnya berasal dari belanja pemerintah, baik itu melalui APBA maupun APBK. Keterlibatan pihak swasta masih amat minim/terbatas.
Tidak realistik
Hal inilah sebenarnya yang tidak pernah terpikirkan oleh pihak perencana di daerah ini (baca: Bappeda Aceh). Tidak mungkin laju pertumbuhan ekonomi yang dimaktub dalam RPJMA 2012-2017 itu (sebesar 6-8%) akan dapat dicapai oleh Pemerintah Aceh, jika besaran investasi fisiknya tidak dikalkulasi secara cermat. Bila hal ini tetap dipertahankan, maka target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMA 2012-2017 tidak lebih hanya sekadar (maaf) angka “mistik” karena sama sekali tidak realistik. Inilah juga yang penulis maksudkan, bahwa perencanaan pembangunan Aceh hanya dilakukan di atas meja dan tidak berdasarkan fakta, seperti dimuat harian ini beberapa hari lalu (Serambi, 23/3/2015).
Di pengujung tulisan ini, penulis menyimpulkan dua hal penting yang dapat dipertimbangkan oleh pihak yang terkait dengan persoalan ini. Pertama, pihak Pemerintah Aceh (baca: Bappeda Aceh) harus melakukan revisi angka target pertumbuhan ekonomi yang ada didalam RPJMA 2012-2017. Penetapan target pertumbuhan ekonomi hendaknya memperhatikan kapasitas daerah, terutama ketersediaan anggaran belanja (APBA plus APBK), termasuk kemungkinan besaran investasi swasta yang akan mengalir ke daerah ini pada masa mendatang (jika ada). Kedua, mengabaikan saran tulisan ini dengan membiarkan dan tidak merevisi target pertumbuhan ekonomi yang ada dalam RPJMA 2012-2017, yaitu 2015 (6,8%), 2016 (7,2%), dan 2017 (8,0%).
Jika langkah kedua ini yang dipilih, maka seluruh SKPA dan SKPK yang ada di daerah ini harus bekerja keras, termasuk mengupayakan agar arus investasi swasta mengalir dalam jumlah memadai ke daerah ini. Bila ini tidak mampu diwujudkan, risikonya target pertumbuhan ekonomi Aceh tidak dapat dipenuhi sesuai harapan. Dan, jika hal ini yang terjadi, tentu akan berisiko menjadi salah satu catatan buruk kinerja bidang ekonomi Gubernur/Wakil Gubernur Aceh pada akhir masa jabatannya nanti.
* Rustam Effendi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Facebook: Rustam Effendi, Email: Email: rust_effendi@yahoo.com
Sumber : klik disini
Komentar