Hubungan Utang Luar Negeri dengan Ekonomi Rakyat
Apakah ada hubungan antara utang luar
negeri dengan ekonomi rakyat? Jawabannya tentu saja tidak bisa dikatakan tidak
karena utang pemerintah pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah
berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang
berasal dari utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif pada
pertengahan 1980-an ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang
dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari
utang yang diterima oleh pemerintah.
Hubungan utang dengan ekonomi rakyat
terlihat pada dimensi APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk
anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban utang yang berat,
baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, merupakan simbol
ketidakwajaran dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti
ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu.
Pada satu sisi, utang luar negeri
Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara
tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk manuver. Anggaran pengeluaran
habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian, APBN
Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan
mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pada sisi lain, APBN sendiri merupakan
instrumen kebijakan pemerintah, yang sangat penting. Tetapi sekarang instrumen
tersebut sudah menjadi kartu mati, yang tidak bisa dipakai secara leluasa untuk
kepentingan ekonomi masyarakat luas, termasuk kepentingan ekonomi rakyat.
KARTU MATI APBN
Rasio Utang Indonesia terhadap
pendapatannya (PDB) bukan hanya melewati batas aman sekitar 50 persen, tetapi telah
melewati rekor negeri miskin dimanapun di dunia ini. Bayangkan, rasio utang
terhadap pendapatannya mencapai tidak kurang dari 120 persen. Itu berarti bahwa
pendapatan seluruh penduduk selama setahun tidak cukup untuk utang tersebut.
Setiap penduduk kini memiliki utang luar
negeri tidak kurang dari 750 sampai 800 dollar AS. Itu juga berarti bahwa
setiap keluarga menanggung beban utang sekitar 4000 dollar AS. Sementara itu,
pendapatannya rata-rata hanya sekitar 600 dollar AS per kapita atau sekitar
3000 dollar AS per keluarga. Jadi, utangnya jauh lebih banyak dari pada
pendapatan rata-rata setiap penduduk selama setiap setahun.
Negara-negara Amerika Latin, yang dianggap
sebagai model kelompok negara yang terjebak utang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio utang terhadap PDB antara
30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan pemerintah di negara-negara
ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah politik terhadap anggarannya.
Indikator utang Indonesia pasca krisis
lebih buruk dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki
sudah rasio utang terhadap PDB sampai 130 persen. Tetapi pemerintah, Tim
Ekonomi, Menteri Keuangan sangat merasa biasa dan tidak perlu usul pemotongan
utang (“haircut”) atau langkah-langkah lain, yang
dapat meringankan rakyat. Seolah-olah tidak ada apa-apa dan kebijakan utang
dijalankan seperti masa normal. Pembayaran utang apa adanya diajukan ke DPR
dengan konsekwensi menguras anggaran dengan jumlah pengeluaran yang begitu
besar.
Karenanya, pemerintah mengajukan usul
kepada DPR untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang tidak kurang dari 70
trilyun. Sementara itu, utang yang hendak diperoleh dari kreditor hanya 34,7
trilyun rupiah. Jadi, ada defisit atau“negatif outflow”tidak
kurang dari 35 trilyun rupiah. Sementara itu, anggaran pembangunan langsung
yang diharapkan dapat dinikmati masyarakat hanya 47,1 trilyun rupiah atau 14
persen saja terhadap total belanja negara. Jadi, APBN 2002 ini betul-betul
habis hanya untuk bayar utang, bayar gaji pegawai negeri yang tidak produktif,
dan menambal subsidi.
Dalam kondisi sangat darurat ini, maka DPR
tidak bisa lagi hanya berbicara dengan retorika anggaran berdasarkan pembukuan
biasa, tetapi sudah sangat perlu berbicara dengan nurani. Apakah layak hak
rakyat terhadap anggaran musnah untuk membayar utang najis tersebut? Sekarang
ini pula saatnya untuk mengukur nyali anggota dewan terhormat. Jadi, mesti
dihindari kegenitan retorika teknokrat yang hampa politik, dengan mengajukan
secara tegas keputusan yang berpihak pada rakyat.
Dalam rangka menyelamatkan APBN, maka
pemerintah bersama DPR harus mengambil keputusan-keputusan yang penting.
Keputusan tersebut perlu dilakukan berdasarkan kepentingan maayarakat luas,
termasuk di dalamnya hak ekonomi rakyat.
Keputusan pertama dan utama adalah
pernyataan politik secara formal bahwa anggaran sudah gawat dan telah melanggar
batas-batas hak ekonomi rakyat atas anggaran yang terkuras untuk membayarnya.
Utang yang dibuat oleh regim yang korup di masa lalu tidak bisa dibayar begitu
saja. Rakyat harus dibela hak-haknya untuk mendapatkan kucuran anggaran
pembangunan yang layak.
Keputusan kedua adalah menetapkan
pengurangan pembayaran utang setidaknya separuh dari yang diajukan pemerintah
dari hampir 70 trilyun rupiah (cicilan pokok 41,5 trilyun rupiah, cicilan bunga
27,4 trilyun rupiah) menjadi 30 trilyun rupiah. Keputusan ini diminta untuk
dilanjutkan oleh pemerintah dengan diplomasi ekonomi kepada negara kreditor,
dengan menyampaikan aspirasi rakyat, yang disalurkan oleh DPR.
Keputusan ketiga, meminta pemerintah (tim
ekonomi) secara kreatif untuk mengurangi pembayaran utang melalui berbagai
kombinasi kebijakan (diplomasi ekonomi), yakni : a) diplomasi penjadwalan ulang
dengan kreditor, b) mengusulkan skema-skema “Debt equity swap” (untuk lingkungan, program
kemiskinan, kemanusiaan, dll), c) mengajukan pemotongan utang (karena Indonesia
tanpa Jakarta sudah miskin berat).
Keputusan keempat, panitia anggaran
mengalokasikannya untuk keperluan-keperluan yang sangat penting bagi
pembangunan masyarakat. Dengan demikian, maka anggaran pembangunan langsung
bisa ditingkatkan lebih besar lagi, termasuk mengurangi defisit.
Jika tim ekonomi tidak mampu, maka DPR dan
partai-partai memikir ulang posisi eksekutif, yang bertanggung jawab terhadap
bidang ekonomi dan fiskal ini. Sebaiknya diminta orang-orang yang berkemampuan
politik dan diplomasi ekonomi yang baik, dalam rangka keberpihakkan kepada
rakyat.
MEMASUNG
EKONOMI RAKYAT
Peningkatan pajak sulit bermanfaat jika
harus dimasukkan pada APBN yang bocor. Rasio pajak terhadap PDB juga telah
meningkat, sampai 13 persen, tetapi hanya tersisa sangat sedikit untuk
pembangunan langsung. Masyarakat kehilangan haknya atas anggaran publik sehigga
akses terhadap program kesehatan, pendidikan, pangan dan infrastruktur sosial
lainnya berkurang sangat drastis.
Peningkatan deviden BUMN untuk APBN sama
saja. Sumbangan trilyunan rupiah untuk APBN terkuras untuk membayar utang luar
negeri, yang jumlahnya tidak kurang dari 70 trilyun (cicilan pokok dan bunga).
Jumlah ini sudah memperhitungkan kemungkinan penjadwalan utang. Jika angka
penjadwalan diperhitungkan, maka beban utang luar negeri yang jatuh tempo pada
tahun diperkirakan mencapai 100 trilyun. Belum lagi beban utang domestik dan
pengeluaran rutin lainnya, yang tidak bisa dihindari. Jadi, kunci persoalan
adalah beban utang luar negeri, yang telah melampaui batas kemampuan suatu
negara untuk melayaninya. Bahkan jumlah beban pembayaran utang tersebut telah
memasung hak ekonomi masyarakat luas atas anggaran publiknya.
Pemerintah telah bermain-main dengan nasib
rakyat, yang mutlak mempunyai hak terhadap anggaran publik tersebut. Tetapi
praktek kebijakan publik dan implementasi anggaran dari regim yang korup telah
menghilangkan kesempatan tersebut. Tim ekonomi hanya mempunyai visi teknis
fiskal belaka, bahwa utang itu merupakan kewajiban negara untuk membayarnya.
Padahal, kerugian paling besar terbebankan kepada masyarakat luas.
Tidak ada sama sekali visi ekonomi politik
dari tim ekonomi pemerintah untuk membela kepentingan masyarakat luas, dengan
cara membebaskan sebagian beban utang, yang merupakan produk dari praktek
kebijakan yang disortif dan praktek korupsi yang meluas pada masa regim yang
lalu. Korupsi di sini termasuk birokrat asing, yang juga sangat menikmati
keuntungan super normal dari proyek-proyek utang luar negeri, yang biasa di-“mark up”. Usaha
diplomasi untuk membagi beban resiko di masa lalu tidak dilakukan sehingga
resiko kesalahan rancangan utang dan kesalahan prakteknya di lapangan hanya
dibebankan kepada pihak Indonesia.
DPR nampaknya juga bermain-main dengan
anggaran publik ini karena tidak memiliki konsep yang matang untuk membebaskan
APBN 2002 dari beban utang, yang mencekik leher. Bahkan pembicaraan tentang
APBN di DPR pada pertengahan Oktober tahun yang menjadi “deadlock” dan hanya menghasilkan skema penjadwalan utang, yang tidak memberi
ruang cukup bagi APBN untuk berfungsi sebagai instrumen kebijakan yang positif.
Itu juga berarti bahwa partai, yang
berkuasa, juga mempertaruhkan nasib politiknya pada teknokrat, yang hampa
politik. Negara dan masyarakat mempunyai hak untuk tidak membayar sebagian
utang yang najis, penyimpangan yang dilakukan dalam keputusan kebijakan dan
implementasinya di lapangan. Tetapi pembelaan atas kesalahan kebijakan publik
ini tidak nyata sehingga pembahasan berjalan apa adanya.
Pendekatan para teknokrat hanya bersifat
teknis fiskal belaka, dengan akibat yang mesti ditanggung oleh masyarakat luas.
Padahal masalahnya adalah “political economy”, yang
harus dijalankan dengan tindakan politik, diplomasi ekonomi, dan bahkan tindakan
kolektif dari “stake
holders”, yang berkepentingan
terhadap APBN.
Jika transaksi utang individu perusahaan,
maka kewajiban pihak yang melakukan transaksi membayarnya. Transaksi utang
individu ini berbeda dengan transaksi utang publik dimana pihak yang tidak
memutuskan ikut menanggung resiko dan beban atas kesalahan pengambilan
keputusan tersebut. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik
adalah transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi.
Utang luar negeri adalah keputusan
politik, yang berada pada domain publik. Ini berbeda dengan transaksi individu
atau pertukaran swasta. Pada kebijakan publik prasyarat-prasyarat keterbukaan,
transparansi, demokrasi dan tahapan yang baik merupakan bagian dari elemen yang
penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan
publik. Utang luar negeri juga merupakan keputusan publik, yang
prasyarat-prasyaratnya sangat tidak memenuhi standar, tetapi dijalankan dengan
pola pemerintahan yang tertutup dan otoriter.
Potensi untuk memperbaiki mekanisme
kebijakan publik tersebut mati karena sifat pemerintahan, yang sangat represif.
Akibatnya, ribuan proyek yang berjalan dengan anggaran dari utang luar negeri
sangat penuh dengan praktek korupsi,“mark up”, dan perburuan rente.
Proyek-proyek menjadi tidak efisien dan negara menanggungnya dengan beban
pembayaran yang mahal dan mencekik tadi.
Transaksi publik yang menyimpang dan
dinodai praktek korupsi pemerintah dan birokrasi dapat dituntut untuk tidak
dibayar begitu saja. Dalam kasus utang luar negeri, praktek korupsi juga
dilakukan oleh birokrat asing dan perusahaan pelaksananya. Publik dan
masyarakat luas memiliki hak untuk melindungi anggarannya dari praktek seperti
itu. Visi seperti ini yang tidak dimiliki pemerintah dan DPR, yang tengah membahas
APBN 2002.
Jika itu dilakukan, maka pemerintah ini
tidak jauh berbeda dengan Orde Baru, yang mempermainkan hak rakyat atas
anggaran. Resikonya, ekonomi masyarakat, program kesehatan, pendidikan,
pembangunan infrastruktur sosial, dan pembangunan lainnya tidak bisa
dijalankan.
Anggaran dikuras untuk membayar utang luar
negeri tidak kurang dari 69 trilyun rupiah. sedangkan utang yang diterima hanya
sekitar 34 trilyun rupiah. keadaan “negative outflow” seperti ini telah terjadi sejak 1986, tetapi dibiarkan semakin
memburuk.
Pertanyaannya, mengapa ada hak rakyat atas
anggaran tersebut tidak dipertimbangkan? Mengapa hanya hak kreditor saja uang
dihitung? Jawabnya terletak pada visi pemerintah dan teknokrat pengambil
keputusan tidak menimbang hak ekonomi politik rakyat atas anggaran tersebut.
Kelopmok ini memang hampa politik
PENUTUP
Demikianlah, pembahasan masalah utang luar
bluar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi
jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran
publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban
anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya
adalah ekonomi rakyat.
Oleh: Didik J. Rachbini
Komentar