Etos Kerja Manusia Aceh
Oleh : T.A Sakti
BUDAYA ACEH memberi nilai amat tinggi terhadap
kerja atau pekerjaan. Penghargaan tertinggi, bahkan menjurus ekstrim terungkap
dalam sebuah Hadih Maja (pepatah Aceh) : “Tukok jok tukok u, nabuet nabu!
(pelepah enau pelepah kelapa, baru bisa makan kalau ada kerja).
Kesadaran kerja ini berlandaskan iman, yang
berkeyakinan bahwa Allah SWT telah “menaburkan” rezeki bagi segenap makhluk-Nya
di muka bumi. Kewajiban manusialah berusaha dan berikhtiar untuk
mendapatkannya. “meunyo hana tatem mita, pane atra rhot di manyang” (kalau
bukan lewat usaha, tak mungkin harta jatuh dari langit/ atas).
Bila mendambakan keberhasilan; berusahalah sekuat
tenaga, peras keringat, banting tulang;- sebab tak sesuatu pun bisa diperoleh
secara “gratis”, dengan berdiam diri atau “duek teuseupok meulhok ngon jaroe
atau pun lale tumpang keueng” duduk berpangku tangan atau menopang dagu).
“Meugrak jaroe meu ek gigoe” (singsingkan lengan, dapat mangan; makan). “Rezeki
ngon tagagah, tuah ngon tamita. Tuah meubagi-bagi raseuki meujeumba-jeumba”
(Rezeki harus diusahakan, keberuntungan-tuah; mesti dicari. Pada keberuntungan
takdir Tuhan-lah yang menentukan; begitu pula dengan hal rezeki).
Pepatah Aceh di atas menekankan, bahwa dalam soal
beruntung atau malang nasib insan di dunia, takdir Tuhan juga berperan. Ini
pernyataan iman, dan sangat penting untuk mencegah rasa putus asa, akibat
kecewa jika ditimpa kerugian, kemalangan atau musibah tak terduga dalam
kegiatan berusaha.
Pendorong
Rangsangan utama yang menggairahkan orang mencari
nafkah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perihal pendorong utama ini,
secara guyon (meukra) sering diucapkan para penjual obat kaki lima di Aceh,
bahwa ia berkelana-menjual obat kemana-mana hanyalah gara-gara “pruet ruhung,
‘atra nyan’ meugantung” (perut yang selalu minta makan dan perlu beri makan
anak-istri).
Selain faktor pemenuhan kebutuhan hidup, banyak pula
faktor lainnya yang ikut menggairahkan giatnya orang mencari materi. Dorongan
agama, pengaruh lingkungan, pandangan masyarakat termasuklah perangsang-perangsang
yang menentukan.
“Ureueng kaya mulia bak wareh, ureueng gasien
meukuwien lam tapeh” (Yang kaya dimuliakan dan yang miskin disingkirkan).
Ungkapan diatas ‘mengingatkan’ bahwa volume pemilikan harta benda sangat
menentukan tinggi rendahnya status seseorang dalam pandangan manusia Aceh
(orang Aceh) pada umumnya. Lantas, apakah masyarakat Aceh pendamba harta
materialis? Malah dalam ‘Meutiara kata’ lebih dinyatakan: segala urusan
tergantung uang. Terdapat pula pepatah Aceh yang bernada mengejek seorang lelaki,
“Hana peng hana inong” (Tak punya uang, tak bakal mendapat perempuan; isteri).
Benci Pemalas
Sikap budaya Aceh pada dasarnya benci kepada orang
malas. Sebaliknya; sangat menghargai pada orang-orang yang rajin bekerja.
Lukisan sikap budaya Aceh terhadap kedua jenis
perilaku manusia ini; tercermin lewat Kristal-kristal budaya yang kita wariskan
dari endatu (nenek moyang) kita sendiri.
“Peue dale dahoh siuroe suntoek, kon tabeudoh laju
tajak mita boh-boh sidom” (Kerjamu melulu hanya nongkrong setiap waktu, kan
lebih baik berangkat mencari ‘telur-telur semut’).
“Bak sibeu-o uteuen luah, bak si malaih raya dawa”
(Watak utama si pemalas adalah mengelak kerja dengan bertengkar mencari-cari
alasan).
Banyak sekali ungkapan yang bernada meremehkan si
pemalas dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari. “Teguran” atau nasehat ini
biasanya terselip dalam pembicaraan antar anggota keluarga siapapun dalam
pergaulan para warga desa umumnya.
“Peue lale duek dukhoh siuroe seuntok” (kenapa hanya
nongkrong saban hari). “Hana peue shot buleuen ngon ujong sadeuep” (Tak usah
menjolok bulan dengan ujung sabit; kerja sia-sia). “Bek preh dahoh” (Tak perlu
banyak tunggu!) dan “bek preh geulupak gob top” (jangan mengharap belas kasihan
orang).
Kesemua pribahasa Aceh tersebut diatas adalah sindiran
tajam yang “menusuk hati” bagi orang yang berperilaku demikian. Kritik sosial
ini akan lebih cepat mencapai sasaran, terutama bagi mereka yang memiliki “mata
hati” yang jernih dan terang. Sementara bagi insan-insan yang “klop prip dan
gai bugai” (tak termakan lagi nasehat); petuah sebaik apapun tak bakal lagi
menggugah mereka, terkecuali dengan siraman taufik serta hidayah dari Allah
SWT.
Penghargaan kepada mereka yang rajin (Aceh : Jumot)
juga sering tersentil dalam percakapan sehari-hari. “Nyang meurot cit leumo
tummbon” (orang kaya, memang orang-orang rajin).
“Meunyoe na tatem mita, adak han kaya taduek seunang”
(Asal mau berusaha kalaupun tak kaya; cukuplah makan). Para pedagang obat kaki
lima, biasa pula mengawali gelaran dagangannya dengan pepatah: “Tapak jak urat
nari, na tajak na raseuki” (Kaki berjalan, otot-urat melenggang; insya Allah
rezeki pun dapat).
Biarpun memiliki pupuk budaya kerja yang menyanjung
orang rajin serta mengutuk si pemalas, bukan berarti sibeue-o si-iet (pemalas)
itu tidak mempunyai tempat sandaran kemalasannya. Di antara Hadih Maja
(peribahasa) Aceh yang ‘mendukung’ sifat malas, yaitu: “Atra sikai hanjeuet
sicupak, beurang ho tajak ka dumnan kada” (Soal rezeki, sudah ditentukan
Tuhan-tak bisa diubah-ubah lagi). “Keupeue lethat atra, peue na tapeulob lam
uruek” (Untuk apa berharta banyak, kan’ tidak dibawa ke kubur,” cetus si kakek
yang berkehidupan papa-merana.
Penghayatan
Etos berarti sikap, kehendak, kebiasaan, watak, cara
berbuat, dan perhatian. Jadi, etos adalah suatu karakter yang sudah
mendarah-daging atau dalam istilah Aceh disebut ‘jaban droe’ (watak
diri). Dalam hal etos kerja bermakna; sikap lahir-bathin terhadap pekerjaan apa
saja yang dilakukan.
Menyimak sokongan budaya Aceh terhadap kerja yang
sangat positif , maka kita boleh berkesimpulan bahwa etos-kerja orang Aceh
cukup baik. Timbul pertanyaan, apakah sifat yang positif ini terjelma
dalam kenyataan hidup sehari-hari???. Memang benar, walaupun kadang kala
bisa muncul suasana pasang naik atau pasang surutnya.
Akibat tantangan yang bertubu-tubi yang tak sanggung
diatasi, mulai dari sinilah berkecambahnya sifat malas menodai seseorang. Bila
kemalasan ini terus berkembang terlalu lama, ia pun mampu berobah watak
seseorang menjadi berkarakter malas alias ‘beretos malas’.
Kenyataan beginilah, yang akhirnya menelorkan
peribahasa: “Atra sikai hanjeuet sicupak, barang ho tajak ka dumnan kada”, yang
mencerminkan rasa putus asa. Tetapi, jika selagi dini “penyakit malas”
memperoleh obat mujarabnya; besar kemungkinan akan normal kembali. “Banyak
faktor yang bisa menjadi ‘obat’bagi penyakit sosial (malas) tersebut.
Termasuklah diantara resep yang manjur adalah punya harapan bahagia di masa
depan/punya masa depan, terbuka kesempatan maju atau bakal sukses.
Dalam hal ini, campur tangan pihak-pihak yang
“memiliki kekuatan dan kekuasaan”, sangatlah menentukan tercapainya
keberhasilan yang didambakan, yakni terwujudnya Etos Kerja Positif/Rajin bagi
kalangan masyarakat luas atau massa-rakyat.
Khusus bagi para petani, tentu harapan mereka tertumpu
kepada harga hasil panen yang wajar di pasaran. Paling kurang, bisa imbang
antara hasil-untung dengan modal serta tenaga yang telah dicurahkan. Pokoknya,
“nilai tukar” barang hasil petani dari desa, tidak terlalu rendah berbanding
harga barang-barang kebutuhan mereka asal ‘kota/pabrik industri’.
“Bak akhe donya on trieng meuhareuga” (Di zaman
canggih, daun bambu pun bisa jadi duit), celoteh seorang nenek di pojok rumah;
pertanda gembira. Akibatnya, terwujudlah Etos Kerja Positif.
Semoga!!!.
( Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam majalah
SANTUNAN no. 209, Kanwil Depag- Aceh )
Komentar