Senin, 11 Januari 2016

Menyoal Harga Komoditas Pertanian

Assalamualaikum wr wb..
Repost Tulisan Bu Chenny di Serambi Indonesia..


HARGA merupakan bagian penting dalam ekonomi pertanian. Hal ini karena harga sangat menentukan tingkat kesejahteraan semua pihak, baik petani sebagai produsen maupun rumah tangga sebagai konsumen. Harga yang terlalu rendah akan merugikan petani, pada sisi yang lain harga yang terlalu tinggi akan memicu meningkatnya inflasi dan menurunkan kesejahteraan rumah tangga konsumen, terutama bagi si miskin.

Komoditas pertanian di Provinsi Aceh sendiri menjadi perhatian khusus bagi otoritas moneter karena beberapa di antaranya tergolong dalam inflasi volatile food yang sangat besar perannya dalam menyumbang inflasi di Aceh. Beberapa di antara komoditas volatile food yang menyumbang inflasi cukup besar, antara lain; beras, tembakau (rokok), cabe merah, bawang merah, tomat, kedelai, beberapa jenis sayur-mayur, dan buah-buahan. Beras bahkan selalu menjadi komoditas yang menyumbang inflasi tertinggi di antara 7 kelompok komoditas yang dihitung dalam perhitungan Indeks Harga Konsumen (IHK).

Analisis harga pertanian sebagai bagian dalam ilmu ekonomi memegang peranan penting dalam merumuskan kebijakan stabilitas harga komoditas pertanian, peningkatan produksi pangan, dan ramalan tentang perkembangan harga komoditas pertanian ke depan. Beberapa metode dalam analisis pertanian di antaranya adalah analisis kuantitatif. Metode ini sering menggunakan model-model ekonomi yang mencoba melihat bagaimana pengaruh harga-harga komoditas terhadap kesejahteraan rumah tangga dan kesejahteraan petani.

Tentu saja analisis ini memerlukan beberapa hal dari penulis, misalnya wawasan teori yang melatarbelakangi penelitian cukup baik sehingga membantu penulis dalam membangun model-model yang tepat. Selain itu ketersediaan data yang mendukung penelitian sangat besar peranannya, di samping kemampuan analisis statistik penulis itu sendiri juga cukup baik (Tomeck dan Robinson, 1990).

Tak asing lagi
Model permintaan sudah tak asing lagi bagi masyarakat, terutama yang memiliki latar belakang pendidikan Ilmu Ekonomi. Di antara model permintaan yang dapat menganalisis pengaruh harga komoditas pertanian terhadap permintaan adalah Model Permintaan Hampir Ideal (Almost Ideal Demand System atau model AIDS). Model ini diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada 1980. Sebagai informasi Deaton sendiri konsisten melihat perilaku konsumen (consumer behavior) dan menjadi peraih nobel ekonomi pada tahun 2015 ini. Kelebihan model ini selain dapat memuat banyak vaiabel harga komoditas dalam satu model, juga dapat menguji berbagai batasan-batasan (restriksi) dalam fungsi permintaan. Restriksi yang dimaksud yaitu aditivitas, homogenitas, dan kendala simetris.

Model ini juga dapat melihat variabel lain di luar harga komoditas, misalnya; variabel pendapatan rumah tangga, variabel spatial, dan variabel sosial demografi. Sangat memungkinkan bagi banyak variabel dimuat dalam satu persamaan. Output dari model AIDS ini adalah elastisitas harga permintaan, elastisitas pendapatan, dan elastisitas variabel lainnya. Elastisitas harga akan melihat bagaimana tingkat sensitivitas harga terhadap permintaan rumah tangga, apakah bersifat elastis, inelastis, atau unity. Besaran elastisitas ini dapat melihat bagaimana perubahan kesejahteraan seseorang akibat perubahan harga komoditas pertanian tersebut.

Model ini pernah saya pakai dalam penelitian disertasi saya mengenai pergeseran kesejahteraan rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan di Provinsi Aceh tahun 2009 hingga tahun 2013. Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Komoditas pertanian yang saya angkat adalah komoditas penyumbang inflasi, yaitu; beras, rokok, dan ikan. Komoditas ini tergolong komoditas yang rentan menyebabkan inflasi (inflasi volatile food).
Naiknya harga-harga komoditas pertanian cenderung disebabkan oleh faktor musim/cuaca. Pada sisi yang lain permintaan masyarakat Aceh semakin meningkat sedangkan supply bagi komoditas ini masih jauh dari mencukupi. Hal ini terlihat dari ketergantungan Aceh terhadap daerah lain masih sangat tinggi dalam memenuhi kebutuhan komoditas yang diteliti, terutama komoditas beras.
Berdasarkan hasil perhitungan elastisitas model AIDS, terlihat bahwa inflasi pada komoditas pertanian di Provinsi Aceh sangat besar pengaruhnya terhadap pergeseran kesejahteraan rumah tangga di perkotaan. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas harga yang cenderung elastis. Nilai ini cenderung inelastis pada perdesaan. Daerah perkotaan merupakan rumah tangga konsumen murni dari produk pertanian. Hal ini sedikit berbeda bagi rumah tangga perdesaan, di mana selain mereka sebagai konsumen, pada sisi yang lain kebanyakan dari mereka juga menjadi produsen (petani).
Namun, hasil yang unik adalah nilai elastisitas harga bagi komoditas rokok yang cenderung inelastis di perdesaan. Nilai ini dapat diartikan bahwa walaupun harga rokok naik setiap tahun, tetapi konsumsi rokok di perdesaan tidak terlalu terpengaruh. Adakah kemungkinan budaya merokok di warung kopi yang sudah menjadi tradisi di provinsi ini turut andil dan memperkuat hasil penelitian ini.

Rekomendasi kebijakan
Sebagai rekomendasi kebijakan dalam penelitian ini, untuk kebijakan stabilisasi inflasi pada komoditas volatile food, ketiga komoditas tadi harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan otoritas moneter. Dalam hal ini pemberdayaan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mutlak diperlukan. Pemerintah sudah harus memetakan komoditas unggulan yang menjadi prioritas pembangunan ke depan, terutama bagi komoditas beras dan sektor perikanan.
Upaya mencapai swasembada bagi kedua komoditas ini harus menjadi target prioritas, mengingat kedua komoditas ini sangat besar perannya terhadap inflasi dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Aceh sendiri memiliki peluang dan potensi yang besar dalam mengembangkan kedua komoditas ini. Komoditas rokok sebaiknya didekati dengan persuasif dari sisi konsumennya, misalnya dengan memperluas sosialisasi tentang bahaya rokok bagi kesehatan, dan intervensi langsung dari pemerintah tentang anti rokok.

Model-model yang diperkenalkan dalam analisis harga pertanian diharapkan dapat membantu pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam upaya membuat kebijakan stabilitas harga, memprediksi perkembangan harga ke depan, dan lebih jauh menjadi arah kebijakan ekonomi terutama terkait komoditas-komoditas unggulan yang harus diprioritaskan

sektor pertanian telah menjadi satu sektor yang besar kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi Aceh, sehingga jika kemandirian pangan dapat dicapai maka hal tersebut menjadi prestasi yang luar biasa bagi pemerintah Aceh ke depan. Permasalahan inflasi yang rentan berfluktuasi akibat komoditas volatile food juga dapat diminimumkan seiring meningkatnya produksi komoditas pertanian di Aceh. Saya yakin, kejayaan Aceh dapat kembali dimulai dengan mewujudkan kemandirian pangan dan menjadi produsen bagi beberapa komoditas unggulan, seperti beras dan ikan. Semoga!

* Dr. Chenny Seftarita, S.E., M.Si., Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: chennyseftarita@gmail.com

Sumber : klik disini

Ekspektasi dan Solusi Ekonomi Aceh ke Depan

Assalamualaikum wr wb..
 Repost dari Serambi Indonesia

Oleh : Chenny Seftarita

Belum lama ini, kita dikejutkan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) triwulan pertama 2015 tentang pertumbuhan ekonomi Aceh yang hanya sebesar 1,65%. Jelasnya, pertumbuhan Aceh dengan migas menurun -2.83%, sedangkan dengan migas turun -0,52% dibandingkan triwulan keempat 2014 (q on q). Pertumbuhan ekonomi Aceh merupakan yang terendah di seluruh provinsi di Indonesia menyusul Kalimantan Timur di urutan kedua. Pertumbuhan ekonomi tertinggi diraih Sulawesi Barat dengan tingkat pertumbuhan 8,73%. Secara nasional pertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan yaitu hanya sebesar 4,7% atau menurun dibandingkan periode sebelumnya pada 2014 yaitu mencapai 5,14% (y on y).

Pertumbuhan yang rendah bahkan terendah di seluruh provinsi di Indonesia bagi sekalangan orang mungkin hal biasa terjadi di Aceh, walau sebenarnya tidak pantas terjadi di tengah kekayaan sumber daya alam dan tambahan dana otsus yang cukup besar. Menurunnya pertumbuhan ekonomi Aceh merupakan gambaran lemahnya kinerja pemerintahan. Pengalaman pahit ini hendaknya menjadi pelajaran bagi pemerintah Aceh ke depan. Jika kinerja yang buruk tidak menjadi pengambil kebijakan merasa malu, maka lihatlah masyarakat Aceh yang akan menanggung penderitaan akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut.

Mari kita melihat bagaimana dampak dari menurunnya pertumbuhan ekonomi Aceh tersebut bagi masyarakat, tingkat pengangguran meningkat 0,98% dibandingkan periode yang sama 2014 (y on y), yaitu mencapai 7,73%. Jika kita tidak terlalu tersentuh oleh catatan angka-angka, maka dapatlah kita bayangkan, sekitar 175 ribu orang penduduk Aceh yang menganggur dan menjadi tanggungan bagi keluarganya. Kemungkinan jumlah pengangguran akan terus meningkat akibat menurunnya aktivitas ekonomi, penyediaan lapangan kerja yang dan lambannya stimulus dari pemerintah. Kondisi ini diperkirakan akan berdampak pada angka kemiskinan yang diprediksikan akan mengalami peningkatan pada 2015 ini.

Memasuki triwulan kedua 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih belum meningkat signifikan. Walaupun diperkirakan meningkat positif, namun peningkatannya relatif kecil. Hal yang mungkin mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tetap pada konsumsi rumah tangga yang terlihat meningkat dalam minggu terakhir, terutama disebabkan oleh pencairan rapel gaji/honor PNS. Penyerapan APBA belum terlalu bisa diharapkan karena diprediksikan hingga bulan Juni 2015 penyerapan tersebut masih jauh di bawah target 50%. Pertumbuhan ekonomi Aceh akan meningkat pada triwulan ketiga dan keempat 2015. Hal ini terutama didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat menjelang puasa dan perayaan lebaran, serta didorong oleh mulai efektifnya penyerapan APBA hingga akhir tahun.

Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Aceh sepanjang 2015 tidak terlalu meningkat signifikan, bahkan terjadi kecenderungan stagnasi. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya kontribusi migas, menurunnya kinerja ekspor di Aceh akibat pasar global yang lesu, dan menurunnya kontribusi ekspor non migas yang disebabkan masih rendahnya produktivitas disektor ini, diperburuk dengan menurunnya rata-rata harga komoditas global. Kontribusi konsumsi rumah tangga dan pemerintah diperkirakan meningkat positif, namun tidak cukup untuk mendorong laju peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Solusi ke depan
Menurunnya pertumbuhan ekonomi Aceh harus menjadi pelajaran bagi pengambil kebijakan untuk kembali menyusun arah kebijakan ekonomi yang lebih efektif. Berdasarkan struktur perekonomian Aceh yang telah ada, ada beberapa kebijakan yang akan merubah perekonomian Aceh menjadi lebih mandiri dan kokoh ke depan. Pertama; memperkuat sektor pertanian, perikanan/kelautan, perkebunan sebagai sektor unggulan. Menurunnya kontribusi migas harus secepatnya disiasati dengan meningkatkan kontribusi sektor lain. Sebagai daerah agraris yang memiliki potensi pertanian dan kelautan yang besar, kedua sektor ini dapat dijadikan pondasi dasar dalam membangun ketahanan ekonomi Aceh ke depan.

Kami merekomendasikan untuk mengupayakan swasembada pangan bahkan menjadi pengekspor komoditas pangan baik bagi pasar di Indonesia maupun di luar negeri. Komoditas beras bisa menjadi satu komoditas unggulan, mengingat kebutuhan beras di Indonesia tergolong tinggi bahkan produksi dalam negeri seringkali tidak mencukupi sehingga harus impor ke negara lain. Pemerintah harus turun tangan dengan mengalokasikan anggaran yang produktif di sektor pertanian, misalnya; pembangunan irigasi dan sistem pengairan, pusat riset pertanian yang akan melahirkan teknologi pertanian, menambah lahan baru atau membuka lahan tidur yang tidak produktif.

Kedua; membuat industri pengolahan sesuai komoditas unggulan, seperti beras, perikanan, dan perkebunan. Dengan adanya pabrik-pabrik pengolahan tersebut, akan dapat memberikan nilai tambah bagi komoditas unggulan di Aceh. Pemerintah dapat memulai investasi tersebut sebagai proyek percontohan, dengan mendirikan beberapa pabrik pengolahan milik pemerintah daerah (sejenis BUMD). Investasi pada industri pengolahan komoditas unggulan dapat ditempatkan di wilayah-wilayah berdekatan dengan dengan bahan baku atau ditempatkan di wilayah yang berdekatan dengan pasar, misalnya di daerah perbatasan Aceh-Sumut, daerah-daerah berdekatan dengan pelabuhan, dan daerah lain yang potensial yang berdekatan dengan pasar atau bahan baku utama. Industri-industri baru ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan industri-industri lain ke depan.
Ketiga; meraih pasar domestik dan pasar luar negeri. Indonesia memiliki poetensi pasar yang besar yang menjadi incaran negara-negara asing. Kontribusi sektor konsumsi rumah tangga sekitar 56,12 persen dari PDB. Persentase ini mencerminkan besarnya potensi pasar yang dapat dilirik bukan saja bagi provinsi Aceh, namun juga bagi semua produsen di Indonesia. Kesempatan ini tentu saja dapat diawali dengan menjalin kerjasama antar daerah. Pemerintah dapat mengambil peran layaknya pengusaha yang mencari pasar seluas-luasnya bagi produksi daerahnya.

Di Aceh sendiri, konsumsi rumah tangga mencapai 62,44%. Kebutuhan lokal di Aceh bahkan masih sangat tergantung pada daerah lain bahkan negara lain. Potensi ini harus diperhatikan, target ke depan bagaimana agar kita tidak lagi tergantung pada daerah lain dalam mencukupi kebutuhan di Aceh. Pasar yang tidak kalah penting lainnya adalah ekspor ke luar negeri. Pemerintah Aceh harus turun tangan membuka akses dan mempromosikan produk-produk lokal ke luar negeri. Pemerintah juga dapat bekerjasama dengan provinsi lain penghasil komoditas yang sama, yang telah mempunyai negara tujuan ekspor.

Keempat; memberdayakan lembaga keuangan terutama perbankan melalui kredit/pembiayaan mikro berbunga rendah. Pengeluaran pemerintah tidak selamanya dapat diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, apalagi pasca berkhirnya dana Otsus nanti. Pemerintah sudah harus mempersiapkan alternatif lain dengan memberdayakan dana masyarakat di sektor perbankan dalam menggerakan sektor riil. Penyaluran kredit modal usaha bagi petani, nelayan, perkebunan dapat dibuat menjadi devisi/unit khusus di perbankan. Dalam hal ini selain menjadikan pembiayaan mikro di sektor unggulan menjadi lebih professional juga membuka peluang kerja yang luas bagi masyarakat. Pemerintah dapat memulai kebijakan ini dengan memberdayakan bank-bank pemerintah daerah yang telah ada.

Kelima; membangun infrastruktur terutama jalan-jalan sebagai sarana transportasi hingga dapat mengakses daerah-daerah sektor unggulan tersebut hingga ke daerah paling terpencil di provinsi ini. Membangun pelabuhan, pasar tradisional, dan sarana publik lainnya yang menunjang program pemerintah dalam memajukan sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan. Konsekuensinya, pemerintah harus memangkas pos anggaran rutin yang tidak produktif dan mengalihkannya ke sektor produktif. Infrastruktur ini harus secepatnya dibangun sebelum dana Otsus berakhir.

Strategi di atas merupakan pondasi utama bagi perekonomian Aceh ke depan. Cara-cara tersebut semua harus dimulai dari pemerintah dengan memberdayakan anggaran APBA ke sektor-sektor produktif ini. Kita tidak usaha berbicara muluk dengan melakukan kebijakan-kebijakan dan target-target perekonomian yang sulit untuk kita capai bahkan kurang realistik. Ketika pondasi ekonomi kita telah kuat, maka untuk ke depan perekonomian akan tertata lebih baik, mapan, mandiri dan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru yang lebih kokoh. Sektor-sektor lainnya yang mendukung seperti perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain akan tumbuh dengan sendirinya seiringg aktivitas ekonomi aceh yang meningkat.

Sumber : Klik Disini

Cara Mendapatkan EViews 11 Demo Version

 Oleh: Jul Fahmi Salim Assalmkum wrwb.. Selamat Pagi, Siang, Malam teman-teman sekalian, jika dipostingan sebelumnya sydah ada cara mendapat...