Perekonomian Indonesia Tahun 2008 di Tengah Krisis Keuangan Global
Indonesia merupakan negara small open economy sehingga
imbas dari krisis finansial global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian
dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis finansial global adalah perlambatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun 2008 atau sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.
Dampak negatif dari krisis global, antara lain
sebagai berikut :
- Menurunnya kinerja neraca pembayaran.
- Tekanan pada nilai tukar Rupiah
- Dorongan pada laju inflasi.
Pertama, kinerja neraca pembayaran
yang menurun
Pada
saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi
yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya
menggerus daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi
negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa pasar yang besar
bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di
Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia. Dengan demikian
ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan NPI
mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008. Penyebab lain terjadinya defisit NPI
adalah derasnya aliran keluar modal asing dari Indonesia khususunya pada pasar
SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Derasnya aliran
modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat defisit sejak
kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008. Selain itu, adanya
sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya
pelepasan aset finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan
modal ikut menjadi defisit.
Kedua,
tekanan pada nilai tukar Rupiah.
Secara
umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September
2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih
mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak
pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek
depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD
pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena
pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,- per USD. Pergerakan
Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat dari grafik dibawah
ini:
diolah dari: www.bi.go.id
Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed
exchange rate atau sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan
berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating
exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang. Dengan sistem ini
nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di
pasar. Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank
Indonesia berkewajiban menjaga Rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual
valas untuk menghadapi supply dan demand yang berubah-ubah.
Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu
yang lalu, terjadi keketatan likuiditas global, dengan demikian supply dollar
relatif sangat menurun. Hal inilah yang memeberikan efek depresiasi terhadap
Rupiah.
Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan
dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai
resiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan
sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah
tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi
terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh
sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka
meminimalisir terjadinya kredit macet.
Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam
negeri, karena secara teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam
negeri. Harga-harga produk dalam negeri menjadi relatif lebih murah apabila
dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang diimpor dari negara lain.
Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih memilih produk
dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan ekspor
Indonesia meningkat.
Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga
mengalami hal yang sama seperti Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami
depresiasi. Krisis global membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada
umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta membuat ekspor Indonesia
meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS awal Maret
2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya
sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada
Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari
2008, nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.
Ketiga,
dorongan pada laju inflasi.
Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak
dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan
inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global yang tinggi. Namun inflasi
tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga komoditi yang
menurun dan penurunan harga subsidi BBM. Pergerakan inflasi di Indonesia dapat
dilihat dari grafik berikut:
diolah dari: www.bi.go.id
Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan
inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008 yakni hingga bulan September 2008.
Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia terutama minyak dan pangan.
Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan
pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan
harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun
karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia. Penyebab
lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi
pangan dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi
deflasi sebesar 0,04 persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada
sektor transportasi, konsumsi, dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan
inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari keberhasilan instansi terkait
dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat meningkat tajam
pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun 2008
mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.
Kebijakan
Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang
mempunyai independensi dari pemerintah mempunyai kewajiban menjaga stabilitas
moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak
dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan, yakni:
Pertama,
Kebijakan dalam sektor moneter. BI mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan
inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan
dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen
pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi,
BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada
Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat
tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan neraca pembayaran dapat dikurangi.
Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan
turunnya harga komoditi dunia serta melambatnya permintaan agregat
sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI memperkirakan tekanan inflasi ke
depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan Desember 2008 diturunkan sebesar 25
basis point (bps) menjadi 9,25 bps.
Kedua,
Kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya
memperkuat ketahanan sistem perbankan, khususnya dalam upaya persiapan
implementasi Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988
accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih
sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap
peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan
cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga
dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan
oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan
sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang
berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline.Framework Basel
II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan
untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini
untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan
yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.
Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis. Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan.
Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati.
Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis. Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan.
Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati.
Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI
telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk memberikan ruang
bagi perbankan dalam menyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan unsur
kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum. Ketentuan-ketentuan tersebut
mencakup beberapa hal seperti: memperpanjang masa transisi penerapan Basel II
untuk perhitungan beban modal risiko operasional, menyederhanakan tatacara
pembukuan kantor bank (termasuk syariah), menyesuaikan bobot Aset Tertimbang
Menurut Resiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil dengan skim penjaminan,
menyesuaikan tatacara penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan
fasilitas transaksi USDrepurchase agreement (repo) bank kepada BI, dan
mengurangi kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan aktiva non produktif.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti
dengan langkah pengaturan secara lebih mendalam, terkait dengan upaya
peningkatan transparansi perbankan, penguatan efektifitas manajemen risiko
likuiditas, dan produk-produk derivatif perbankan. Dengan demikian diharapkan
seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional maupun syariah, akan
memiliki ruangan yang cukup untuk menjalankan fungsi intermediasinya tanpa
mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, sebagai prioritas
utama.
Ketiga,
Kebijakan di sektor pembayaran. Bank Indonesia turut berupaya mencegah
terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran
nasional. Dalam mencegah risiko sistemik dari risiko gagal bayar peserta yang
cenderung meningkat pada kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, BI telah melakukan perubahan jadwal setelmen sistem pembayaran pada
hari tertentu.
Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus dilakukan
untuk meningkatkan pengedaran uang yang cepat, efisien, aman, dan handal,
meningkatkan layanan kas prima, dan meningkatkan kualitas uang. Sementara kebijakan
non tunai diarahkan untuk memitigasi risiko sistem pembayaran melalui
pengawasan sistem pembayaran, mengatur kegiatanmoney remittances, meningkatkan
efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan meningkatkan pembayaran non
tunai.
Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawab
dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia.
Dengan demikian diharapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat BI merupakan
kebijakan yang strategis dan tepat sasaran dalam meminimalisir dampak krisis
keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga diharapkan dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya pada
kesejahteraan masyarakat. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber
dari laporan Bank Indonesia)
( Ibnu Purna / Hamidi /
Prima )
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3698&Itemid=29
Komentar