13 MASALAH PENGELOLAAN KEUANGANNEGARA DAN DAERAH
By
Turiman Fachturahman Nur
Reformasi
Tata Kelola Keunagan Daerah sudah digulirkan
Reformasi
tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang
merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi
tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi
akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik
merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan
daerah. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan
sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan daerah.
Paket
Undang-undang bidang Keuangan Negara telah memberikan landasan/payung hukum di
bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini
dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan
kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan
kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan
kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.
Otonomi
Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah
secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang
dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri.
Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada
akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat.
Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen
keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan
daerah yang baik dalam rangka mengelola dana APBD secara transparan, ekonomis,
efisien, efektif dan akuntabel.
Dalam
perundang-undangan bidang keuangan negara ini secara tegas diatur bagaimana
Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan khususnya di bidang keuangan.
Undang-undang ini mengatur mengenai asas umum perbendaharaan negara, kewenangan
pejabat pengelola keuangan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja
negara/daerah, pengelolaan uang, piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan
investasi dan barang milik negara/daerah, penatausahaan dan pertanggungjawaban
APBN/APBD, pengendalian intern pemerintah, penyelesaian kerugian negara/daerah,
serta pengelolaan keuangan badan layanan umum. Penyusunan RAPBD dengan
pendekatan prestasi kerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah,
penyajian Neraca Daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban
Kepala Daerah, merupakan beberapa hal baru yang diamanahkan dalam peraturan
tersebut.
Urgensi
UU NO 17 Tahun 2003
Berdasarkan
UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 31, Gubernur/Bupati/Walikota
harus membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk laporan keuangan
yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Laporan keuangan
ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan
atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah
untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini
memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam
pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat
dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang
integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian
laporan-laporan di atas dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu Sistem
Informasi Akuntansi Keuangan Daerah (SIAKD) yang terintegrasi dengan
sistem-sistem lain dalam manajemen keuangan daerah.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 51 ayat (2),
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran harus
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas
dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung
jawabnya. Hal ini berarti bahwa setiap SKPD harus membuat laporan keuangan unit
kerja. Pasal 56 UU ini menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat
setiap unit kerja adalah Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas
Laporan Keuangan, sedangkan yang menyusun laporan arus Kas adalah Kepala Satuan
Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum daerah.
Sistem
Akuntansi Keuangan Daerah harus ditunjang dengan pembenahan tata kelola
keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem. Sumber daya
manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai, pengguna
laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya, serta bagaimana
memanfaatkan laporan keuangan. Elemen masyarakat harus memahamai alur sistem
secara global, sehingga mereka akan lebih sadar akan hak dan kewajibannya. Para
eksekutif di pemerintah daerah harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana
memanfaatkan laporan-laporan internal yang dapat dihasilkan dari sistem
akuntansi.
Sistem
Pengelolaan Keuangan Daerah
1.
Dasar Hukum
Yang
mendasari perundang-undangan penting yang melandasai pelaksanaan
pengelolaan
keuangan daerah sebagai berikut :
1. UU
No. 20 Tahun 1999 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2. UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan daerah;
3. UU
No. 1 Tahun 2004 tentang perbedaharaan
4. UU
No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
5. UU
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
6. UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
7. UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
8. PP.
No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
9. PP
No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
10.
PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 37 Tahun
2005, PP No. 37 Tahun 2006 dan PP No. 21 Tahun 2007;
11.
PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah;
12.
PP 23 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
13.
PP No. 24 Tahun 2005 Standar Akuntansi Pemerintahan
14.
PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
15.
PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
16.
PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
17.
PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah;
18.
PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
19.
PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Estándar
Pelayanan Minimal;
20.
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
21.
PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
22.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
23.
Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah
24.Permendagri
No. 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
25.Permendagri
No. 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemeriksaaan dalam rangkaberakhirnya Masa
Jabatan Kepala Daerah;
26.
Permendagri No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat
di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
27.
Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negara
No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PEMBARUAN
TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Perubahan
pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single
entry menuju double entrymerupakan perubahan yang cukup revolusioner.
Kesiapan SDM daerah khususnya di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Badan
Pengelola Keuangan Daerah) umumnya kurang memiliki latar belakang bidang
akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan
menghadapi banyak kendala yang cukup besar di daerah. Meskipun pemerintah
daerah sudah memiliki software akuntansi pemerintah bagi daerahnya, namun
demikian karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka
kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah
pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Sistem
pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel itu sudah menjadi kebutuhan
dalam rangka terciptanya good governance dan clean
government yang menjadi simbol reformasi pemerintahan secara umum. Untuk
itu upaya percepatan terhadap keberhasilan pembaruan (reformasi) manajemen
keuangan bagi pemerintah daerah sudah selayaknya mendapat perhatian
serius... Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika
perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal
dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut
ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di
daerahberdasarkan. Edy Marbyanto.
Intervensi
hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan
kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan
dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match
misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak
usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi
legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk
mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas
yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi
atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan
barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget
ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk
negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak
eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan
alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos)
ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara
fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di
Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
Pendekatan
partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi
retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala
daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya
akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi
kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
Proses
Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan
informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat
menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali
membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga
semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang
terjerat.
Ketersediaan
dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini
juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember
tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh,
walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran
program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
Breakdown RPJPD
ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung(match). Ada
kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan
acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah
satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas
kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya
dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program
sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari
kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
Kualitas
RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa
kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah;
indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat
berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta
analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah
pada “how to achieve”suatu target.
Terlalu
banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi
arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster
mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk
menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya
dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi
sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga
Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah
bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya
masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya
embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan
Perempuan” misalnya.
Koordinasi
antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang
dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu
kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi
disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi
tersebut.
SKPD
yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU
seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses
perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga
Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
APBD
kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai
keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada
instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut.
Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada
semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
Kualitas
hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator
Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang
menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi
hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan
jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
Pedoman
untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit
(complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di
daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya
mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
Dalam
praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR
MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap
suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di daerah masyarakat dan
pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan
tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka
kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah
gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan
tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa
demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung,
tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan
untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola
perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau
mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga
masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang
diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga
pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll.
Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu
didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah
perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi
“Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi
orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai
gerakan pembangunan).
Berdasarkan
13 permasalahan diatas sekurangnya ada tiga (mala)praktik tata kelola yang
menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Pertama,
problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal
(pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan
desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan
minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun
investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk
belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk
membiayai birokrasi.
Kedua,
problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita
beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana
dekonsentrasi, medebewinddan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar
yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang,
sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada,
bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk
Sertifikat BI.
Perlu
dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan
uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya,
hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem
perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah,
lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga
simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya
pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di
tengah masih lesunya investasi sektor swasta.
Ketiga,
selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan
problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan
keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata
pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan
komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil,
merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas
pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21
daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249
daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak
memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse(tak wajar).
Terkait
masalah ini, sumber masalah utama adalah tidak efektifknya peran inspektorat
(dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai
garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen
strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.
Institusi
ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang
terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak
adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir
sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.
Padahal,
keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis. Pertama, menjadi
lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas
eksternal (BPK, KPK, dll). Kedua, sebagai unit pengawas internal yang memiliki
peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan
evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung
untuk menghindari kerusakan masif. Seandainya semua ini dijalankan, bisa
dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi
menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
Opsi
Kuratif
Isu
manajemen keuangan daerah bukanlah semata urusan internal pemerintahan tetapi
mesti dilihat sebagai bentuk akuntabilitas vertikal kepada pusat sebagai sumber
dana perimbangan dan tanggung jawab politik kepada rakyat. Untuk itu, terhadap
temuan masalah, sanksi tegas harus diberikan, bila perlu lewat instrumen fiskal
pula (pemotongan DAU).
Opsi
kuratif/represif ini saatnya mulai diterapkan pemerintah pusat kalau tidak mau
masalah tersebut menjadi beban permanen. Selain itu, langkah persiapan
(preventif) mesti segera menjadi program prioritas baik lewat penguatan
kapasitas aparat perencana, pelaksana dan pengawas keuangan maupun redesain
kelembagaan institusi inspektorat.
Komentar