Pengelolaan Migas Aceh
Assalamualaikum wr wb..
Selamat Sore...
Copas Berita dari Serambi Aceh..
* Dr. Abd. Jamal, S.E., M.Si., Dosen/Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Email: abdjamal@unsyiah.ac.id
Sumber : Klik disini
Selamat Sore...
Copas Berita dari Serambi Aceh..
PERSOALAN pengelolaan minyak dan gas Aceh menjadi salah satu isu sejak ditetapkannya Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang kemudian ditetapkan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumberdaya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Atas dasar itu, terbentuk Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) yang menggantikan SKK Migas di Aceh. Dengan terbentuknya lembaga ini, berarti pemerintah Aceh telah diberikan hak dalam mengelola migas di Aceh. Kesahihan terbentuknya lembaga tersebut ditunjukkan oleh telah dilantiknya Kepala BPMA, Marzuki Daham oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) belum lama ini di Jakarta.
Kita menyambut baik kebijakan ini. Tentu saja dengan harapan semakin meningkatnya geliat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan pemerintah Aceh di dalam kegiatan ini bukan berarti Pemerintah Aceh dapat mengatur secara politik setiap langkah dan gerak dari BPMA. Memang, itu adalah bagian dari negosiasi politik yang dibicarakan dalam waktu yang relatif lama.
Akan tetapi, bila politik dikedepankan, mungkin tujuan awal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh hanya akan menjadi mimpi. Barangkali kita bisa lihat kembali Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memajukan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru (New Economic Growth Center) di ujung barat Indonesia. Keikutsertaan tangan-tangan politik yang kental, menyebabkan lembaga tersebut seperti ada dan tiada.
Kita Mampu
BPMA mungkin sebuah keniscayaan di awal mimpi-mimpi kita selaku masyarakat Aceh untuk kemajuan ekonomi Aceh. Puluhan tahun kita memprotes pemerintah pusat karena tidak transparan dalam mengelola migas Aceh. Kita meyakini, kita memiliki sumber daya alam, khususnya migas yang sangat besar di bumi ini. Kita meyakinkan masyarakat, kalau kita mampu mengelola sendiri sumber daya alam itu untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat kita. Hari ini kita harus membuktikan, BPMA itu memang untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk gontok-gontokan, atau memperkaya kelompok kita sendiri. Kita harus memberikan kesempatan untuk mengelola setiap kebijakan BPMA secara profesional, bukan secara politik apalagi politisasi.
Mungkin sebagian masyarakat sering mendengarkan istilah rente (rent). Istilah ini sebenarnya sebuah istilah bermakna positif yang digunakan untuk menghargai atau menilai setiap pemberian Tuhan yang kita dapatkan secara gratis. Akan tetapi, karena adanya orang-orang tertentu yang mendapatkan manfaat (benefit) atau keuntungan (profit) tanpa adanya usaha, maka istilah rente digunakan kepada hal yang demikian. Kegiatan semacam itulah yang disebut sebagai perburuan rente (rent seeking).
Kewenangan yang didapatkan oleh seseorang kecenderungan dimanfaatkan untuk menunjukkan eksistensinya. Baik berupa pengaruh, maupun kesempatan untuk mendapatkan rente. Di sinilah biasanya kehancuran itu akan terjadi. Ketika campur tangan politik untuk kebijakan ekonomi sangat dominan, ditambah lagi untuk kepentingan tertentu (vested interest), maka kepentingan untuk rakyat menjadi terlupakan atau dilupakan? Apabila kemakmuran rakyat menjadi pilihan utama dan mutlak, maka kita harus melupakan ekonomi rente (rent economics).
Semua kebijakan harus benar-benar untuk rakyat, bukan hiasan bibir (lip service) atau janji yang diingkari. Pengelolaan migas oleh BPMA nantinya, jangan sampai menjadi tempat atau markas perburuan rente bagi banyak pihak. Kita kuatir bila itu dilakukan, perjuangan atau apapun namanya yang selama ini telah dilakukan atau dikampanyekan, akan dipandang sinis oleh masyarakat. Pemerintah Aceh jangan merasa mengutangkan budi pada pengelolanya, sehingga budi itu harus dibalasnya dalam bentuk rente.
Aceh pernah jaya dengan minyak dan gasnya. Sampai-sampai kita merasa sombong dengan kekayaan alam yang ada di perut bumi. Seakan tidak pernah habisnya. Negara kita berfoya-foya dengan hasil migas yang dimiliki. Setelah tiga puluhan tahun gemerlapnya Aceh dengan gelar petro dolar, ternyata kita harus kembali ke masa yang hampir suram. Kondisi ini ditunjukkan oleh geliat ekonomi di Aceh, khususnya Aceh Utara dan Lhokseumawe sebagai daerah yang memiliki sumber daya alam migas (yang tidak dapat diperbarui). Kegemerlapan di masa lalu, telah meninabobokan semua lapisan di bumi Aceh, rakyat hingga pejabat. Seakan kegemerlapan itu akan terus berlangsung hingga usia Aceh berakhir.
Harus bangkit
Hari ini, pengelolaan migas telah diserahkan kepada rakyat Aceh. Memang, blok yang lama telah usai. Mungkinkah kita dapat menemukan atau mengembangkan blok-blok yang baru? Mungkinkah ini awal kejayaan atau kegemerlapan Aceh yang baru? Akankah kondisi ini meninabobokan kembali pejabat dan rakyat Aceh? Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu yang relatif pahit. Jangan bergantung pada sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui itu. Kalaupun hal ini dapat membangkitkan kembali Aceh menjadi lebih baik dari sebelumnya, namun pemerintah Aceh harus bangkit dan sadar, hal itu akan berakhir suatu masa nanti.
Pemerintah Aceh harus berpikir untuk generasi yang akan datang di dalam jangka panjang. Jangan hanya berpikir untuk jangka lima tahunan. Oleh karenanya, pemerintah Aceh sudah selayaknya memikirkan konsep mengembangkan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic). Ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam yang terbarukan. Bagian dari keuntungan pengelolaan migas sepatutnya digunakan untuk tujuan pengembangan ekonomi jangka panjang.
Masyarakat juga jangan lagi dibutakan mata hatinya atau terlena dengan janji-janji yang tak berujung. Masyarakat kita perlu dibangunkan dari buaian-buaian mimpi yang tak terbukti. Dengan adanya pengelolaan migas oleh Pemerintah Aceh, saatnya kita berpikir bersama-sama membangun Aceh yang tanpa terkota-kotak, baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya maupun geografis. Pengalaman buruk masa lalu harus menjadi pelajaran berharga untuk masa depan yang lebih maju.
Isu adalah momen. Pilkada di Aceh tidak lama lagi. Para calon pasti sedang mempersiapkan materi untuk kampanye. Berbagai isu dikumpulkan untuk dijadikan bahan pada momen kampanye. Peluang-peluang sekecil apapun akan dimanfaatkan oleh para calon untuk menunjukkan keberhasilannya atau menawarkan sesuatu bila terpilih. Pengelolaan migas oleh pemerintah Aceh adalah isu yang selayaknya masyarakat Aceh tahu.
Akan tetapi, isu ini tidak sepatutnya dijadikan bahan kampanye. Sekali isu ini masuk ke ranah kampanye politik, maka saat berkuasa akan memiliki kecenderungan untuk mengutak-atik lembaga itu. Akhirnya, profesionalitas tidak dapat diwujudkan di sana. Politisasi dapat saja terjadi. Harus diingat, tujuan awal BPMA untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh.
* Dr. Abd. Jamal, S.E., M.Si., Dosen/Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Email: abdjamal@unsyiah.ac.id
Sumber : Klik disini
Komentar