Rp 40,8 triliun mana jejaknya?
Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh untuk tahun 2015 mencapai Rp 7 triliun. Dengan demikian, sejak digelontorkan pertama kali tahun 2008, Aceh sudah menerima dana otsus sebanyak Rp 40,8 triiun. Pertanyaannya, sudah optimalkah penggunaan dana itu untuk kepentingan masyarakat seperti diperintah UUPA?
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) memerintahkan penggunaan dana dimaksud benar-benar untuk kepentingan masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Pansus DPRA dan Badan Anggaran DPR RI terhadap penggunaan dana Otsus, menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Pemanfaatan dana otsus belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Banyak proyek otsus tidak tepat sasaran, tidak tepat peruntukan, tidak tepat waktu, dan tidak tepat pelaporan.
Mestinya, pihak eksekutif di provinsi dan kabupaten/kota memahami benar bahwa dana otsus harus dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Kamudian, harus disadari pula bahwa dana otus ini bukan pendapatan yang abadi. Tapi hanya diberikan selama dua puluh tahun. Untuk tahun pertama (2008) sampai tahun ke-15 (2022) besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAUN). Untuk lima tahun berikutnya (2023-2028) besarnya setara dengan 1% plafon DAUN.
Kini, penerimaan dana itu sudah tahun ke-8 atau dengan jumlah total penerimaan hampir Rp 41 triliun.
Itu merupakan angka yang luar biasa besarnya. Karenanya, akan sangat kita sesalkna jika uang sebanyak itu tidak meninggalkan “jejaknya” pada daerah dan masyarakat Aceh. Seorang peneliti mengatakan, salah satu cara melihat gagal atau berhasilnya pemanfaatan dana otsus adalah dengan kacamata kesejahteraan.
Makanya, penggunaan dana otsus yang terwujud dalam regulasi daerah tak boleh melenceng dari tujuan meningkatkan kesejahteraan. Pola pola hubungan provinsi dengan kabupaten/kota harus harmonis hingga ke programnya. Jangan sampai seperti selama ini, kabupaten/kota sering tidak tahu atau tidak mau tahu adanya proyek yang dibiayai provinsi dengan dana otsus di daerahnya. Lebih celaka lagi, setelah dikerjakan malah telantar. Kabupaten/kota seolah merasa tak butuh, kenapa dibangun atau diberi?
Jadi, hal-hal seperti inilah yang terkadang menjadikan dana otsus itu tak tepat sasaran bahkan mubazir. Justru itu pula, si peneliti tadi mengatakan, “Pengelolaan dana otsus Aceh masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ‘memerintah’ Pemerintah Aceh. Ini terlihat dari tingginya anggaran yang tak dipakai setiap tahun. Dalam empat tahun pertama, rata-rata sekitar Rp 1 triliun per tahun tak terpakai akibat buruknya relasi provinsi-kabupaten/kota dalam pengelolaan dana otsus.”
Kita takut, tahun 2029 akan ada anak Aceh yang bertanya: Mana jejak dana otsus?
sumber : klik disini
Komentar