Belajar "Syariat" dari Negeri Jepang (Repost)

Sebuah artikel yang terbit tahun lalu, tapii sangat sangat menarik untuk dibaca, dan dijadikan sebagai pelajaran bagi diri kita sendiri, artikel tersebut mengenai bagaimana "Syariat" di Negeri sakura (Jepang) dalam berperilaku terhadap orang lain, isi artikel tersebut berdasarkan pengalaman Dosen saya Pak Abd. Jamal yang terbit di salah satu media online The Globe Journal.... Berikut isi artikel beliau....

Beberapa waktu lalu saya bersama sejumlah se-Indonesia mendapat kesempatan belajar (training) ke Jepang untuk mempelajari kebijakan publik dan perencanaan dalam Program Human Resources Development Planning (PHRDP) yang difasilitasi Bappenas. Dalam kesempatan belajar tersebut, selain belajar di kelas, kami juga diperkenalkan dengan lingkungan yang mereka hadapi dan lakukan untuk pembangunan.
Perjalanan lapangan dan in class study yang kami ikuti mulai dari Tokyo, Kyoto hingga ke Beppu - Oita. Selama perjalanan studi, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan saya jadikan sebagai catatan kecil tentang Jepang. Paling tidak ada delapan belas poin yang menjadi catatan penting dan sering sulit bagi bangsa kita untuk melakukannya walau sangat sederhana. Sebenarnya catatan itu hampir terlupakan bagi saya, namun karena adanya polemik tentang pelarangan wanita mengangkang di Kota Lhokseumawe, maka saya teringat untuk membukanya kembali.

Dalam pemahaman saya, syariat Islam adalah aturan untuk menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Menegakkan aqidah. Artinya, sebagai ummat Islam kita harus menjalankan ketentuan yang digariskan oleh agama Islam. Ketentuan yang harus dijalankan bukan hanya bagaimana kita berpakaian (pakai rok atau celana?) atau menutup aurat, tapi juga bagaimana kita berdagang, memimpin negeri hingga kepada bagaimana kita berjalan di depan orang tua dan berbicara dengan orang tua (akhlak dan etika). Dengan perkataan lain, syariat Islam yang harus dijalankan sebenarnya sangat luas dan komprehensif (kaffah istilah orang-orang yang sering berceramah), bukan hanya sekedar pakai rok atau duduk ngangkang.

Kembali ke perjalanan di Jepang, dengan sekilas cuplikan cerita. Suatu hari, kami dibawa ke suatu tempat di Kyoto. Tempat itu adalah tempat belajar, semacam tempat pendidikan agama di negeri kita. Kami ingin diberikan pengetahuan tentang perencanaan pembangunan di Provinsi Kyoto. Ketika mau masuk ke gedung tempat belajar, kami diharuskan membuka sepatu dan menggantikan dengan sandal yang telah mereka sediakan di locker (rak yang terkunci) masing-masing.

Ketika sedang belajar, saya ingin ke kamar kecil (toilet) karena terlalu banyak minum, dan saya tanyakan kepada salah seorang (mungkin guru) yang ada di luar ruang pertemuan; di mana toilet dan di mana tempat buang sampah, karena saya harus membuang kaleng minuman. Saya segan untuk membuangnya sembarangan, karena tempatnya sangat bersih, dan bukan budaya orang Jepang untuk melempat sampah sembarangan.

Apa jawaban yang saya peroleh? Orang muda tersebut menjawab, tempat sampah ada di bawah (karena kami belajar di lantai dua), mari saya yang buangkan dan Anda tidak perlu ke sana. Untuk pertanyaan yang satu lagi, dia meminta saya untuk mengikutinya sampai ke depan pintu toilet dan mempersilahkan saya masuk dengan sangat santun. Pertanyaan selanjutnya adalah, adakah orang-orang kita, kalaupun bukan bangsa yang melakukan seperti itu pada tamunya? Bukankah kita sering melihat orang menunjuk dan berkata, belok ke kiri, belok ke kanan dan tanyakan pada orang di sana?

Belum selesai cerita sampai di sana. Saya melanjutkan untuk masuk ke toilet. Ketika saya masuk melewati pintu pertama, terlihat ada sejumlah sandal tersusun rapi yang dulu pernah dikenal sandal Lily di negeri kita untuk dipergunakan masuk ke dalam kamar kecil tempat buang hajat. Namun tempatnya sangat bersih. Bandingkan dengan tempat ibadah di negeri ini. Sandal yang entah dari mana datangnya, dibawa hingga ke anak tangga mesjid. Kamar kecil yang ada juga kadangkala membuat kita tidak nyaman untuk masuk ke dalamnya.

Sepenggal cerita lagi, saya pernah tersesat sehabis shalat Ashar di suatu gedung pertemuan di Oita, karena saya shalat yang terakhir di lantai yang jauh dari tempat kegiatan yang kami ikuti. Setelah shalat, saya lupa di lantai berapa kegiatan belajar kami. Akan tetapi, ketika saya sedang bingung di lift, kebetulan ada seorang gadis Jepang yang dapat berbahasa Inggris masuk, saya menjelaskan kondisi saya. Setelah mendengar cerita saya, wanita itu mengantar saya ke lantai sepuluh, dan menjelaskan tentang hal yang saya alami kepada petugas yang ada di sana.

Selanjutnya, wanita yang saya temui permisi untuk melanjutkan perjalanannya turun ke lantai tujuh. Kemudian saya di antar oleh wanita yang kedua ke tempat acara yang saya ikuti hingga ke dalam ruangan acara untuk membuktikan kebenaran kegiatan. Saya hanya bisa berkata “terima kasih” dalam bahasa Jepang yang saya tahu sepenggal. Pertanyaan kembali adalah adakah orang-orang kita mau mengantarkan orang sampai ke tempat tujuan? Sulit untuk menjawabnya.

Dari dua penggal kisah yang saya alami, apakah perlakuan orang-orang Jepang tersebut sebagai implementasi syariat Islam? Jelas tidak, karena mereka bukan beragama Islam. Namun, mengapa mereka berperilaku seperti implementasi syariat Islam? Mungkin ini yang tidak bisa dijawab oleh bangsa kita. Tidak lain, itulah etika yang berlaku bagi mereka, begitulah budaya mereka. Bagaimana dengan kita? Kita kadangkala suka memperdebatkan hal-hal yang kurang perlu (dhaif), kita juga sering membuat peraturan-peraturan yang tidak perlu atau tidak populer (kontroversial) karena ingin populer. Padahal masih banyak hal lain yang harus diurus untuk kepentingan pembangunan bangsa agar menjadi maju.

Penegakan Syariat
Sejak tahun 2001 pemerintah kita (Aceh) telah berupaya untuk menegakkan syariat (Islam), dalam artian menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Kita selalu mendengar pelaksanaan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh), Pengertian menyeluruh harusnya pelaksanaan pada berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial, ideologi dan politik serta hukum. Akan tetapi, yang terjadi? Dalam banyak pengalaman, perwujudan penegakan syariat masih sangat parsial. Hanya menyentuh aspek-aspek kecil dari sebuah aspek. Bukankah bila kita berbicara syariat Islam yang kaffah, berarti berbicara sebuah suprasistem di daerah ini?

Saya tidak ingin menggugat apapun kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Dari berbagai pengalaman yang ada, telah dibuktikan, bahwa kebijakan yang coba-coba dan kebijakan yang hanya untuk mencari popularitas, tidak bertahan lama. Dia menghilang dengan sendirinya seiring dengan perjalanan waktu, atau ketika ada pihak yang di dalam kekuasaan berhadapan dengan persoalan itu.

Penegakan syariat Islam, seharusnya dimulai dari hal-hal yang sederhana serta tidak menimbulkan pro dan kontra. Sebagai contoh, adakah pemotong ayam membaca bismillah saat akan memotongnya? Adakah kamar kecil di mesjid memenuhi syarat suci? Adakah penjual melakukan timbangan yang benar dan jujur? Kalau hal-hal seperti itu telah berjalan dengan benar, baru dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi, seperti mencambuk pedagang yang tidak jujur dalam timbangan. Tidak jujur dalam timbangan adalah identik dengan mencuri atau korupsi.

Sepertinya, untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini tidak perlu muluk-muluk dan untuk kepentingan popularitas sesaat. Kalau pemerintah daerah serius ingin menegakkan syariat Islam, silahkan memulai pada semua aspek yang dengan unsur-unsur terpilih tanpa diskriminasi ras, seks ataupun suku.

***

Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, dapat dihubungi di abdjml@aim.com

sumber : klik disini


kunjungi website beliau disini http://abdjamal1966.wordpress.com/ , anda akan menemukan berbagai artikel menarik yang beliau tulis..

Terimakasih sudah Berkunjung... :-)

Komentar

Postingan Populer