Negeri Sentosa Tak Tersorot Kamera
Indonesia ternyata tidak kekurangan
pemimpin berkualitas. Saat mata banyak tertuju ke Jokowi di Jakarta dengan
gebrakannya, di daerah-daerah kita sebenarnya punya banyak inspirasi lain.
Salah satunya dari Sinjai, sebuah kabupaten kecil di Sulawesi Selatan.
Kepemimpinan yang kuat mampu membuat daerah ini berkembang. Jokowi dijamin
minder atas apa yang diperbuat bupatinya. Cerita perjalanan ini akan
menjelaskan sedikit tentang wilayah tersebut.
Sebelum masuk Sinjai, saya ditantang taruhan oleh
Mail, supir rental yang menemani saya dari Makassar. “Abang boleh cari jalan
jelek di Sinjai, bahkan di kampung-kampung sekali pun. Atau coba cari
pengendara motor yang keluar rumah tanpa helm, walau cuma ke warung terdekat.
Kalau Abang ketemu, boleh potong honor saya setengah” tantangnya.
Awalnya
saya anggap itu angin lalu saja, namun Mail semangat sekali berpromosi. Di
sepanjang perjalanan dia bercerita perkembangan Sinjai di bawah kepemimpinan Rudiyanto
Asapa, Bupati dua periode yang saat ini juga maju sebagai calon gubernur
Sulawesi Selatan.
Masuk
Sinjai menjelang maghrib, saya menginap di Hotel Sahid Sinjai, sebelah kediaman
resmi Bupati. Target pertama saya adalah menikmati satu-satunya kehidupan
malam di Sinjai. Kehidupan malam yang sangat sehat. Sebuah perputaran ekonomi
yang mensejahterakan nelayan maupun warga secara keseluruhan, yaitu Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) Sinjai.
Pusat
pelelangan ikan Sinjai mulai ramai sekitar pukul 19.30. Ratusan kapal penangkap
ikan parkir dan berbaris rapi di pinggir pelelangan. Parkir dengan retribusi
resmi yang menguntungkan daerah. Nelayannya bukan hanya dari Sinjai,
nelayan dari Bantaeng, Bulukumba, bahkan dari Makassar lebih suka parkir dan
menurunkan ikan di pusat pelelangan ikan ini. Sebab manajemennya transparan dan
rapi. Taka ada tengkulak yang memonopoli harga.
Ikan
diturunkan dan langsung disambut oleh para pedagang. Masyarakat lalu-lalang
bertransaksi baik membeli ikan partai besar maupun eceran untuk kebutuhan
sehari-hari. Ini pasar yang hampir sempurna, tidak ada cukong atau
tengkulak yang bisa mengintervensi harga ikan. Nelayan, penjual, dan pembeli
sama-sama diuntungkan. Jika ikan tidak habis, dinaikkan lagi ke peti pendingin
yang ada di kapal untuk dijual lagi pada malam berikutnya.
Dengan
uang lima puluh ribu, anda bukan hanya dapat 3-4 ekor ikan, tapi seperti meraup
tauge. Bagi yang ingin segera menikmati ikan segar, di pintu masuk pelelangan
terdapat banyak warung yang menyediakan pembakaran ikan. Inilah satu-satunya
kehidupan malam di Sinjai.
Pulang
dari pelelangan saya mampir di sebuah toko serba ada untuk membeli perlengkapan
mandi dan sikat gigi. Jangan harap anda akan menemukan waralaba semacam
Alfamart atau Indomaret di tempat ini. Bupati Sinjai, hanya mengijinkan
waralaba masuk ke daerahnya jika bersedia menampung produk industry rumahan
warga dengan kuota tertentu. Satu hal yang sepertinya berat dipenuhi oleh perusahaan
waralaba. Namun bagi sang kepala daerah, itu bentuk perlindungan terhadap
sektor ekonomi kerakyatan agar tidak digilas pasar-pasar modern.
Keesokan
pagi saya bersiap-siap berkeliling ke pelosok Sinjai. melihat langsung hasil
kepemimpinan Rudiyanto Asapa yang disanjung-sanjung warga Sinjai tersebut.
Saya
mulai dengan menikmati pemukiman di pusat kota. Jalan-jalan yang mulus, rapi,
serta pohon rindang terbentang di sepanjang jalan. Lalu saya lanjutkan
perjalanan ke Sinjai Utara. Lagi-lagi Mail mengingatkan saya soal tantangannya.
“Nanti coba cari jalan jelek ya bang,” tantangnya sembari senyum-senyum.
Saya
tidak tertarik mencari jalan jelek tetapi sibuk memperhatikan motor-motor yang
berseliweran. Penampilan motor-motor dan pengendaranya rata-rata sama,
konservatif. Hampir tidak ada modifikasi. Motor harus dengan dua spion
pabrikan, tanpa knalpot yang bikin berisik, serta pengedara yang lengkap dengan
helm standar SNI. Konon tak ada kawasan khusus tertib lalu lintas di sini.
Seluruh jalan adalah kawasan tertib lalu lintas. Sebab, polisi bisa melakukan
tilang di jalan-jalan kampung sekalipun. Nama Kasatlantas Sinjai, H. Eddy,
adalah nama terpopuler kedua setelah sang Bupati.
Saya
berhenti di Bukit Gojeng. Ini awalnya adalah tempat makam purbakala. Namun
fosil-fosilnya sudah dipindahkan ke dalam museum. Lokasi situs purbakala ini
sendiri diubah menjadi taman kota yang sangat asri dan indah. Sekelas dengan
resort-resort super mahal di pulau jawa. Ini merupakan ruang publik tempat
muda-mudi menghabiskan waktu, terutama di akhir pekan. Dan yang bikin saya
kaget, petugas penjaga taman ini memberitahu saya, password free wifi yang bisa
dinikmati di Bukit Gojeng. Masukkan saja password digojengku, anda
bisa berselancar di internet sambil menikmati nuansa resort berkelas yang
sangat asri.
Dari
Bukit gojeng, saya menuju dataran rendah. Ada deretan pulau-pulau yang menarik
perhatian saya ketika melayangkan pandangan dari puncak bukit gojeng.
Menurut warga setempat, namanya Pulau Sembilan. Ada sembilan pulau yang
terpisah dari daratan utama Kabupaten Sinjai.
Saya
menuju pelabuhan untuk mendapatkan speed ke Pulau Sembilan.
Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin tahu kondisi pulau-pulau yang terpisah
dari daratan utama. Saya menuju pulau yang paling ramai, dan juga merupakan
Pusat kecamatan Pulau Sembilan, namaya Pulau Kambuno.
Pulau ini dihuni oleh para nelayan. Tapi jangan
bayangkan sebuah kampung nelayan yang berantakan dan kumuh. Ini jauh di luar
perkiraan. Yang terlihat justru sebuah pemukiman yang sangat rapi dan bersih.
Rumah-rumah panggung berjejer rapi dan gang-gang yang bersih. Hampir tidak ada
rumah yang jelek, begitu juga perahu-perahu mereka yang bersandar di pinggir
pulau. Persis di tengah-tengah pulau terdapat sebuah ruang publik berupa
lapangan yang multifungsi. Jika diptret dari udara, akan mirip seperti stadion
di tengah pulau, dikelilingi oleh rumah-rumah panggung dan tebing. Ini contoh
kearifan lokal yang tidak tunduk pada keserakahan.
Dulu pulau ini gelap gulita. Tidak ada listrik. Namun
setelah dipimpin oleh Rudiyanto Asapa, Kambuno sudah dialiri listrik. Mekipun
masih terbatas pada malam hari, namun membuat kemajuan dalam banyak hal,
terutama pendidikan. Anak-anak bisa melajar dengan baik. Kehidupan pulau juga
lebih semarak, dan sebagian di antara mereka justru bisa berselancar di
internet. Ternyata pulau ini juga tersedia fasilitas Free Wifi yang dipancarkan
dari kantor kecamatan.
Saya telusuri semua sisi pulau. Wajah-wajah cerah
penghuni pulau, terutama anak-anak menghiasi setiap langkah saya menyisir
pulau. Seorang anak mengajak saya melihat bangunan SMP tempat dia bersekolah.
Tempatnya ada di puncak tertinggi pulau kambuno. Katanya pemandangannya sangat
indah dan tak akan bisa dilupakan. Ah, saya pikir itu hanya hiperbola saja.
Saya
susuri jalan setapak menanjak yang sudah dibeton. Di kiri kanan terdapat
hamparan hutan kaktus seperti di gurun pasir. Sungguh nuansa yang sangat
berbeda ketika sadar bahwa ini masih di pulau tropis. Di tengah-tengah hutan
kaktus, terdapat sebuah balai nikah, di puncak tebing dan menghadap ke laut.
Sejenak saya layangkan pandangan. Mulut ternganga dan takjub. Hamparan laut
bening dengan warna kehijauan membentang di hadapan mata. Bisa dibayangkan
betapa romantisnya jika pernikahan digelar di balai nikah ini. Besarnya tidak
seberapa, tapi pemandangannya akan membuat moment pernikahan sebagai kenangan
yang sangat berkesan.
Tidak
jauh dari Balai Nikah itu, berdiri megah sebuah SMP negeri. Klaim anak kecil
tadi ternyata bukan hiperbola. Pemandangan dari ruang guru maupun ruang belajar
SMP ini setara dengan resort-resort mewah di Bali. Pantai pasir yang sempit,
pohon kelapa yang tidak terlalu banyak, dan hamparan laut bening berwarna
kehijauan. Saya tidak tahu apakah pemandangan ini akan membuat semangat belajar
bertambah atau malah membuat ngantuk.
Namun,
memang harus diakui bahwa 100 persen anak-anak di sinjai sudah menempuh
pendidikan dari SD sampai SMA, dan itu gratis, baik di sekolah negeri mapun
swasta. Bupati Sinjai Rudiyanto Asapa sudah menerapkan kebijakan ini sejak
tahun 2003. Kalau mau jujur, mungkin dia pelopor pendidikan gratis di Indonesia.
Seorang Bupati yang pernah dilaporkan warganya ke polisi sebagai penculik anak,
karena membawa anak-anak yang bekerja di sawah ke sekolah meski mereka tak
punya seragam. Hanya sayang, tidak ada kamera wartawan Jakarta yang
mampir di sini.
Menjelang sore saya kembali ke daratan Sinjai.
Bersiap-siap kembali ke Makassar. Rasa tidak puas memenuhi dada. Sebab, selalu
ada kejutan di setiap pelosok Sinjai. Dan itu inspirasi untuk membuat Indonesia
lebih baik. Tapi sayang, pekerjaan terlalu banyak menumpuk di Makassar dan
Jakarta. Suatu saat, saya pasti kembali menyusuri sisi lain daerah ini.
Sinjai
memang bukan daerah ternama. Bahkan jarang ditulis media. Namun bagi yang hadir
dan menikmati langsung akan segera paham bahwa ini seperti sebuah negeri yang diperintah
raja bijak. Kebijaksanaan yang melahirkan ketenangan dan kesejahteraan bagi
warganya.
Komentar