Perkuat Peran Pengawas Penyalahgunaan Wewenang di Birokrasi
Ribuan aparatur sipil negara (ASN) mengikuti upacara
hari ulang tahun ke-47 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Istora
Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018). Kegiatan tersebut dihadiri oleh Presiden
Joko Widodo yang bertindak sebagai inspektur upacara
JAKARTA,
KOMPAS—Undang-undang yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang dinilai
multitafsir. Oleh sebab itu, perlu harmonisasi aturan dari undang-undang yang
mengatur tentang penyalahgunaan wewenang dan penguatan peran pengawas.
Hal
itu mengemuka dalam diskusi terfokus dan terarah (FGD) yang digelar Pusat
Pelatihan, Pengembangan, dan Kajian Hukum Administrasi Negara (Puslatbang KHAN)
Lembaga Administrasi Negara (LAN). FGD bertema “Kajian Implementasi
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terkait
Pemberantasan Korupsi” itu diadakan di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Kepala
Bidang Kajian Hukum Administrasi Negara Puslatbang KHAN LAN, Said Fadhil,
mengatakan, unsur penyalahgunaan wewenang oleh birokrat pemerintah diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Namun, hal itu juga diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor).
Pasal
3 UU Tipikor menyatakan, setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun
dan atau denda paling dikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
“Hal
ini menimbulkan multitafsir dalam memahaminya apakah penyalahgunaan wewenang
oleh birokrat masuk dalam ranah pidana atau ranah administrasi,” katanya, dalam
keterangan tertulis.
Said
menjelaskan, penyalahgunaan wewenang dalam UUAP merupakan ranah hukum
administrasi sebagai upaya pencegahan korupsi. Adapun dalam UU Tipikor
merupakan ranah hukum pidana dan upaya terakhir dalam hal penindakan korupsi. Dalam
UUAP, Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) menjadi aktor yang sangat
berperan menentukan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang. Namun dalam UUAP
tidak dijelaskan lebih lanjut tentang aktor, fungsi, kewenangan, serta tanggung
jawabnya.
“Perlu
ada aturan yang memperkuat APIP dalam melaksanakan tugas,” katanya.
UU
yang multitafsir ini, lanjut Said, menimbulkan keraguan bagi pejabat pemerintah
membuat kebijakan. Pada gilirannya, akan memicu stagnasi pembangunan karena
anggaran tidak terserap maksimal.
Oleh
sebab itu, harus ada harmonisasi peraturan perundang-undangan sehingga tidak
menimbulkan multitafsir untuk memahami penyalahgunaan wewenang. Ini, antara
lain, dilakukan dengan menjelaskan mekanisme koordinasi penanganan perkara
penyalahgunaan kewenangan. Ditambah lagi, peran APIP harus diperkuat.
Wakil Koordinator
Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto, mengemukakan, penyalahgunaan
wewenang memang tidak bisa dipukul rata. Ada perspektif administrasi dan
pidana.
“Kalau
pada akhirnya memang ada niat (mens rea) dan merugikan keuangan negara,
baru bisa dikategorikan pidana,” katanya. Menurut Agus, APIP bertugas untuk
mengklasifikasi jenis penyalahgunaan yang terjadi. Jika memang ada unsur
pidana, APIP berkoordinasi dengan penegak hukum.
Untuk
mewujudkan hal ini, APIP harus memiliki kapasitas dan kompetensi untuk memilah
antara administrasi murni dan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi pidana.
“APIP harus
independen, bahkan terhadap atasan sendiri. Karena selama ini, kasus yang
ditangani intern, ujung-ujungnya selesai secara ‘adat’,” katanya.Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/10/23/perkuat-peran-pengawas-penyalahgunaan-wewenang-di-birokrasi/
Komentar